Pembiayaan energi hijau menjadi salah satu isu yang dibahas sidang Energy Transition Working Group G20, selain aksesibilitas dan teknologi. Salah satu rencana aksi gelaran tersebut yaitu memobilisasi pendanaan transisi. Indonesia sebenarnya dapat memanfaatkan anggaran yang sudah ada untuk transisi hijau, dengan atau tanpa kerja sama luar negeri, sesuai rekomendasi International Institute for Sustainable Development (IISD).
Pertama, menetapkan pajak yang tidak terlalu tinggi dan mereformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), terutama sektor transportasi darat. Sebelum menghapus subsidi sepenuhnya, pemerintah bisa terlebih dahulu memberlakukan pajak BBM. Langkah ini dapat menambah pendapatan negara, mengingat nilai pajak yang lebih tinggi akan membuat harga energi juga meningkatkan. Harapannya, masyarakat kemudian beralih ke energi bersih.
Mengutip laporan IISD, implementasi pajak dan reformasi subsidi tersebut setiap tahun dapat menambah pemasukan negara Rp154 triliun. Jumlah ini melebihi setengah paket program perlindungan sosial, sekitar Rp195 triliun, sebagai bagian dari pemulihan pandemi 2020.
Kedua, menghapus subsidi dan menerapkan pajak terhadap batu bara, kemudian merumuskan pajak karbon. Pemerintah akan lebih mudah menjalankan pajak batu bara daripada pajak karbon. Sebab, negosiasi hanya perlu dilakukan kepada perusahaan yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi primer, tidak kepada semua pelaku industri padat karbon.
Penambahan pajak batu bara seperti cukai atau PPN dapat menjadi alternatif kebijakan, selagi mekanisme penetapan harga karbon terhadap batu bara ditunda. Pajak batu bara dapat mendorong industri untuk menggunakan listrik dari sumber yang bersih dan terbarukan.
Ketiga, mengarahkan dana dari pajak dan reformasi subsidi untuk pemulihan ekonomi dan transisi energi. Beberapa program dapat dilakukan, seperti pengentasan kemiskinan dan realokasi subsidi dari energi kotor ke energi terbarukan. Terlebih, total dana dari rekomendasi IISD pertama dan kedua itu mencapai Rp261 triliun.
“Jumlah ini hampir setengah dari nilai recovery, nilai PEN tahun 2020. Jadi potensinya cukup besar bagi Indonesia untuk bisa mengambil dari hanya dua (kebijakan) fossil fuel ini,” kata Theresia Betty Sumarno, Konsultan Kebijakan Energi IISD, pada webinar Powering Economic Recovery Using Renewable Energy, Sabtu (15/01).
Akan lebih baik apabila dana tersebut digunakan untuk membangun pembangkit energi terbarukan, dengan biaya yang semakin murah, sembari mengejar target bauran 15,7% tahun ini. Momentum presidensi G20 dapat menjadi ajang pembuktian, bahwa Indonesia benar-benar berkomitmen untuk transisi energi, dengan mengarahkan kebijakan menuju pro ekonomi hijau.