RUPTL Terbaru Tidak Sejalan dengan Janji Transisi Energi Presiden Prabowo

27 Mei 2025

-

Admin CERAH

RUPTL Terbaru Tidak Selaras Janji Transisi Energi Prabowo

Jakarta, 26 Mei 2025 – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 milik PT PLN (Persero) masih mencantumkan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas sebesar total 16,6 gigawatt (GW). Dominasi energi fosil dalam RUPTL terbaru ini dinilai bertentangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penghentian penggunaan pembangkit listrik fosil pada tahun 2040, sebagaimana disampaikannya dalam KTT G20 di Brasil.

RUPTL 2025–2034 Mundur dari Komitmen Transisi Energi

Menurut Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), RUPTL ini mencerminkan kemunduran terhadap komitmen transisi energi nasional.

“RUPTL ini bertentangan dengan pernyataan Presiden di KTT G20 terkait penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi publik, sektor keuangan, dan investor swasta yang ingin beralih ke energi bersih,” ujar Tata.

Klaim Dominasi Energi Terbarukan Menyesatkan

RUPTL 2025–2034 mengklaim 76% dari total penambahan kapasitas pembangkit berasal dari energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi, yakni 42,6 GW pembangkit hijau (61%) dan 10,3 GW storage (15%). Namun, porsi ini juga memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 500 megawatt (MW) pada 2032–2033, yang akan dibangun di Sumatera dan Kalimantan.

Sementara itu, kapasitas tambahan dari pembangkit batu bara dan gas masing-masing sebesar 6,3 GW dan 10,3 GW, atau sekitar 24% dari total tambahan kapasitas, tetap menunjukkan ketergantungan pada energi fosil.

Perlunya RUPTL yang Mendukung Industrialisasi Hijau

Tata menekankan bahwa revisi RUPTL harus dilakukan dalam kerangka industrialisasi hijau. Indonesia harus memprioritaskan pengembangan rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik demi mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan penciptaan lapangan kerja.

“RUPTL seharusnya tidak lagi memasukkan pembangkit baru berbasis energi fosil jika pemerintah serius dalam transisi energi,” tambah Tata.

RUPTL Menghambat Iklim Investasi Energi Terbarukan

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), menyampaikan bahwa dokumen RUPTL terbaru justru lebih mengakomodasi kepentingan industri batu bara dan gas alam.

“Investor dan lembaga keuangan akan ragu untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan jika pemerintah tidak menunjukkan ambisi dan arah yang jelas,” jelas Bhima.

Bhima juga menilai RUPTL saat ini tidak mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.

“Jika RUPTL masih mempertahankan proyek fosil, maka sulit menciptakan lapangan kerja baru dan memacu pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus segera merevisi RUPTL dan menghentikan rencana pembangunan pembangkit energi fosil,” tegas Bhima.

Ketergantungan pada Energi Fosil Akan Semakin Menguat

Sartika Nur Shalati, Policy Strategist dari CERAH, menyoroti risiko jangka panjang dari investasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dengan umur teknis 25–30 tahun biasanya disertai pembangunan infrastruktur tambahan seperti pipa gas dan terminal LNG, kontrak jangka panjang, serta subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT).

“Ketika modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutup pembangkit lebih awal, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.

PLTU Tambahan Menghambat Perubahan Struktural Ekonomi

Sartika juga mengkritisi rencana penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang hingga kini masih mendominasi lebih dari 70% total kapasitas pembangkit terpasang.

“Menambah PLTU dalam RUPTL ibarat menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Tanpa tambahan pun, PLTU masih bertambah diam-diam lewat skema captive power,” jelasnya.

Seluruh ekosistem pembangunan energi fosil ini menciptakan ketergantungan struktural yang sulit diputus dan justru mendorong pemerintah untuk mempertahankan operasi fosil lebih lama dari yang ideal, memperparah krisis iklim.


Kontak Media

  • Sartika Nur Shalati
    Policy Strategist CERAH
    📞 +62 822-6113-8244

  • Tata Mustasya
    Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN)
    📞 +62 812-9626-997

  • Bhima Yudhistira
    Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS)
    📞 +62 813-1816-8622

Artikel Terkait

Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia

Komunike Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia

21 Oktober 2024

footer yayasan