Di antara AI, Data, dan Transisi Energi

29 September 2025

-

Ralfy Ruben Rialdi

Di antara AI, Data, dan Transisi Energi

Tulisan karya Ralfy Ruben Rialdi ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.

 

Kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) sudah masuk ke berbagai sendi kehidupan, mulai dari pengolahan data untuk pengambilan keputusan hingga teman curhat bagi mereka yang kesepian. Perkembangannya yang pesat sejak diluncurkannya ChatGPT 3.0 pada tahun 2020 hingga sekarang membuat dunia tertegun dan berlomba-lomba untuk menguasai AI. Kini, raksasa di bidang teknologi dan informasi seperti OpenAI, Microsoft, Meta, hingga Google memiliki platform AI nya masing-masing dan saling memperluas pasar. 

Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar, Indonesia tidak luput dari fenomena ini. Laporan dari Boston Consulting Group dan Google (2023) menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan adopsi AI tertinggi di Asia Tenggara. Lebih dari 50% perusahaan di Indonesia telah mengadopsi AI dalam beberapa fungsi bisnis mereka, mulai dari pimpinan perusahaan hingga staf. Selain itu, tingginya pengguna internet di Indonesia (200 juta jiwa) juga memberikan karpet merah untuk pemanfaatan AI di berbagai lapisan masyarakat. Bahkan, analisis Kearney (2023) meramal bahwa AI dapat memberikan kontribusi sebesar $366 miliar terhadap PDB Indonesia pada tahun 2030. 

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta Kementerian Investasi dan Hilirisasi juga telah berencana mengembangkan pusat data di Indonesia. Saat ini, pembangunan pusat data tersebar di Jakarta, Batam, dan Cikarang dan pemerintah siap untuk bekerja sama dengan mitra perusahaan asing untuk menjadikan Indonesia sebagai data center hub di Asia Tenggara. Pertumbuhan ini juga tercermin dari kontribusinya terhadap PDB yang mencapai sekitar US$12,2 miliar pada tahun 2024. 

Namun, di balik kemampuan dan potensinya yang luar biasa, ada satu hal yang sering dilupakan, yakni konsumsi energi yang masif. Setiap pertanyaan yang diajukan pada perangkat AI meninggalkan jejak yang tak terlihat, menuntut daya listrik dari sistem kelistrikan yang masih sangat bergantung pada energi fosil – penyebab utama krisis iklim. 

Titik krusial paradoks ini berada pada pembangunan infrastruktur utama AI, yaitu pusat data yang sangat menyedot banyak daya untuk beroperasi. Infrastruktur 'otak' di balik AI ini memakan sekitar 1 – 1,5% dari total konsumsi listrik global, dan bebannya terus melonjak. Laporan International Energy Agency (IEA) memprediksi bahwa kebutuhan listrik dari pusat data akan mencapai 945 TWh pada tahun 2030, sedikit lebih tinggi dari Pulau Jepang hari ini. Selain itu, sebuah studi dari University of Massachusetts Amherst menunjukkan bahwa melatih model AI besar seperti GPT-3 dapat menghabiskan energi setara 1.287 MWh, atau konsumsi listrik rata-rata 130 rumah tangga di AS selama setahun penuh. Tidak hanya soal daya, sistem pendingin yang menjaga server tetap beroperasi juga mengonsumsi air dalam jumlah fantastis, sebagai contoh model GPT-3 membutuhkan sekitar 700.000 liter air bersih. 

Selain kebutuhan operasionalnya yang besar, komitmen iklim perusahaan-perusahaan teknologi juga menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Raksasa-raksasa teknologi seperti Google merupakan telah mencapai target 100% energi terbarukan untuk seluruh operasional global mereka sejak 2017. Mereka melakukannya dengan membeli energi terbarukan dalam jumlah besar—lebih dari 5 gigawatt—dari berbagai sumber seperti tenaga surya dan angin. Perusahaan lain seperti Nvidia dan Microsoft memiliki target yang sangat ambisius seperti carbon negative pada tahun 2030. Di sisi lain, sistem grid kelistrikan Indonesia yang dikelola oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih didominasi oleh energi fossil, khususnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara (60%). Meskipun pemerintah menargetkan peningkatan hingga 42 GW energi baru dan terbarukan hingga 2034 dalam Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 – 2034, kapasitas PLTU juga untuk meningkat sebesar 6,3 GW. 

Berkaca pada beberapa kasus sebelumnya, terdapat juga kasus dimana pemerintah backslide dari komitmen transisi energi dan iklimnya. Sebagai contoh, Pemerintah Indonesia merevisi target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan menurunkan target bauran EBT dari 23% menjadi kisaran 17 – 19% pada tahun 2025. Pada saat KEN direvisi, bauran EBT di Indonesia baru mencapai 14,8%. Pemerintah berdalih bahwa kondisi ekonomi dan geopolitik global berbeda dari keadaan saat PP KEN 2014 disahkan. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan terhadap visi jangka panjang investor yang mulai berwawasan keberlanjutan.

Eksistensi PLTU dan target yang mengambang berpotensi membuat investasi data center yang bersih enggan masuk ke Indonesia. Perusahaan-perusahaan teknologi besar memiliki komitmen iklim yang ketat dan secara aktif mencari lokasi yang dapat mendukung target 100% energi terbarukan mereka. Dengan dominasi batu bara, sistem kelistrikan Indonesia gagal memenuhi tuntutan ini. Kondisi ini menciptakan kesenjangan antara visi perusahaan global dan realita di lapangan. Jika Indonesia tidak dapat menjamin pasokan energi bersih yang stabil dan terjangkau, investasi triliunan rupiah dari raksasa teknologi akan beralih ke negara-negara tetangga yang memiliki kebijakan energi lebih progresif.

Untuk menarik investasi dan mengamankan posisi sebagai pemimpin digital, pemerintah perlu menyederhanakan regulasi dan memberikan insentif fiskal yang kompetitif. Penyusunan regulasi satu pintu (single point of contact) di tingkat kementerian akan memangkas birokrasi yang rumit, mempercepat proses perizinan yang kini memakan waktu berbulan-bulan. Hal ini sudah dilakukan dalam bentuk Online Single Submission (OSS) yang dikelola oleh Kementerian Investasi. Namun, kendalanya adalah maraknya tindakan pungutan liar yang menyebabkan capital expenditure pembangunan membengkak sehingga membuat para investor berpikir dua kali untuk berinvestasi. Selain itu, pemberian insentif fiskal seperti pembebasan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk perangkat keras AI berteknologi tinggi sangatlah krusial. Kebijakan ini akan menempatkan Indonesia pada posisi yang setara dengan negara tetangga, membuat investasi pusat data menjadi lebih menarik secara finansial.

Di samping itu, kebijakan energi nasional harus sejalan dengan tuntutan global. Pemerintah perlu merevisi Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dengan fokus pada prioritas energi terbarukan dan menurunkan rencana peningkatan PLTU batu bara. Target ambisius dalam RUPTL yang masih disandingkan dengan peningkatan PLTU mengirimkan sinyal yang ambigu bagi investor yang berkomitmen penuh pada energi bersih. Dengan merevisi RUPTL, Indonesia akan menunjukkan komitmen yang kuat dan memberikan kepastian jangka panjang yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan global.

Terakhir, pemerintah dapat memanfaatkan skema Power Purchase Agreement (PPA) untuk mempercepat pembangunan energi bersih. Skema ini memungkinkan pengembang energi terbarukan mendapatkan pendanaan stabil dari perusahaan teknologi yang membutuhkan pasokan listrik bersih dalam jangka panjang. Dengan memfasilitasi PPA, pemerintah tidak harus menanggung seluruh beban investasi dan dapat mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan angin berskala besar. Langkah ini akan secara langsung membangun kapasitas energi bersih yang dibutuhkan oleh industri pusat data dan mewujudkan visi transisi energi yang konkret.

Paradoks antara pertumbuhan AI dan kebutuhan energi telah menempatkan Indonesia di persimpangan jalan. Meskipun AI menjanjikan potensi ekonomi luar biasa dan dapat menyumbang triliunan rupiah bagi PDB, infrastruktur kelistrikan kita yang masih didominasi batu bara berisiko membuat kita kehilangan investasi besar dari raksasa teknologi global yang berkomitmen penuh pada energi terbarukan. Untuk mengatasi ini, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis: menyederhanakan regulasi, memberikan insentif fiskal, merevisi Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk memprioritaskan energi bersih, dan memfasilitasi skema Power Purchase Agreement (PPA). Dengan langkah-langkah ini, kita bisa menjadikan teknologi yang membutuhkan energi besar ini sebagai kekuatan pendorong utama untuk transisi energi, sekaligus mengamankan posisi sebagai pemimpin ekonomi digital di Asia Tenggara dan berperan aktif dalam upaya global melawan krisis iklim.

Related article

2024 Kaleidoscope of Energy & Climate Issue in Digital Media

2024 Kaleidoscope of Energy & Climate Issue in Digital Media

24 December 2024

footer yayasan