Lebih dari setahun sejak permulaan pandemi Covid-19, sebanyak sembilan anggota MDB mendanai sedikitnya US$12 miliar untuk energi bersih dan US$3 miliar untuk energi fosil.
Pembiayaan MDB untuk bahan bakar fosil turun 40% pada 2018-2020 dibandingkan 2015-2017, demikian kutipan laporan “Still Funding Fossils: An assessment of MDBs’ energy finance since Paris & in COVID-19 Recovery”. Laporan diterbitkan wadah kampanye keuangan energi global, The Big Shift Global. Laporan yang sama menyebutkan, kemungkinan pada 2020 merupakan tahun pertama tak akan tercatat pembiayaan proyek batu bara dalam daftar MDB.
Bank Pembangunan Asia, atau Asian Development Bank (ADB), termasuk dalam daftar anggota MDB yang menunjukkan penurunan signifikan dalam pembiayaan proyek bahan bakar fosil. Meski begitu ADB, yang mencatatkan Indonesia sebagai salah satu anggotanya, masih mengalirkan dana hibah bantuan teknis dalam proyek ekspansi gas alam.
Sepanjang periode 2018-2020, ADB menghabiskan hampir US$1,5 miliar untuk membiayai proyek terkait bahan bakar fosil di Asia. Tahun lalu, misalnya, ADB dan beberapa perseroan bernaung Kementerian Keuangan menyepakati perjanjian penjaminan dalam pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar panas bumi.
Kebijakan energi terbarukan ADB baru akan diterbitkan tahun ini. Pengesahan kebijakannya sekaligus menjadi ujian bagi bank beranggotakan 68 negara itu. Ujian terutama akan membuktikan keseriusan ADB menepati janji untuk berpihak pada Kesepakatan Paris.
Sembilan lembaga anggota MDB pada 2017 berjanji untuk “menyelaraskan arus keuangan dengan Kesepakatan Paris.’ Tahun-tahun sesudahnya, mereka berulang kali menegaskan komitmennya. Dalam skala internasional, tujuan yang disetujui dalam Kesepakatan Paris termasuk “mengupayakan arus keuangan yang konsisten dengan tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca.”
