Pengarusutamaan Isu Krisis Iklim Demi Transisi Energi Berkeadilan

29 September 2025

-

Manda Firmansyah

Pengarusutamaan Isu Iklim Demi Transisi Energi Berkeadilan

Tulisan karya Manda Firmansyah ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.

 

Transisi energi berkeadilan bertujuan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat termiskin di Indonesia dengan tetap menjaga kestabilan iklim bumi. Namun, tanpa pengarusutamaan isu krisis iklim, transisi energi berkeadilan tidak akan dapat diwujudkan. Pengarusutamaan isu krisis iklim sangat penting, mengingat kesadaran masyarakat merupakan kunci keberhasilan transisi energi berkeadilan.

Namun, berdasarkan laporan Yayasan Indonesia Cerah berjudul Suara Warga Kota; Memahami Transisi Energi dari Perspektif Akar Rumput, tidak ada peserta Forum Group Discussion (FGD) pada Mei 2025 yang memahami urgensi transisi energi dari bahan bakar fosil ke terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang memperburuk krisis iklim. Peserta FGD — yang terdiri ibu rumah tangga urban, pekerja sektor informal, pemuda berpendidikan rendah hingga menengah — tidak memahami atau bahkan baru mendengar istilah energi terbarukan, krisis iklim, dan transisi energi. Padahal, para peserta FGD merupakan kelompok yang terdampak langsung krisis iklim dan berbagai permasalahan terkait energi.

Di dalam artikel saya Di Segitiga Bermuda-nya Indonesia, Pantai Tak Terkelola dan Nelayan Tak Berdaya, juga terungkap bahwa kebanyakan nelayan di Pulau Masalembu tidak memahami dampak krisis iklim. Bahkan, nelayan di Pulau Masalembu menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bukan atas pertimbangan ramah lingkungan dan mengurangi dampak krisis iklim, melainkan karena alasan efisiensi biaya. Padahal, krisis iklim memperburuk seluruh aspek kehidupan nelayan.

Krisis iklim mengakibatkan ketidakpastian cuaca ekstrem yang mengganggu aktivitas melaut nelayan. Jika cuaca ekstrem tidak berlarut-larut, para nelayan yang penghasilannya sangat bergantung pada hasil tangkapan dari laut, bisa terlilit utang dan dicekik masalah ekonomi. Krisis iklim juga memperparah kondisi nelayan lantaran menjadi biang kerok banyaknya kasus kecelakaan di laut dan migrasi ikan ke perairan yang lebih hangat. 

Imbasnya, nelayan harus melaut lebih jauh dan biaya yang dikeluarkan semakin mahal, dengan ketidakpastian hasil tangkapan dan risiko kecelakaan bertambah besar. Selain itu, kenaikan muka air laut akibat krisis iklim, menyebabkan banjir rob yang semakin sering terjadi di kampung-kampung nelayan. 

Di sisi lain, dalam artikel saya Hanya Sedikit Orang Indonesia Beli Mobil Listrik Demi Atasi Perubahan Iklim, mengungkapkan bahwa rendahnya kesadaran tentang bahaya krisis iklim terjadi di semua lapisan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil survei Praxis pada 7 Februari-7 Juli 2025 di 12 kota besar Indonesia, yang membeli mobil listrik demi mengatasi krisis iklim hanya di bawah 4% dari total 1.200 responden. Jadi, jarang ada orang dari masyarakat kelas menengah ke atas mempertimbangkan isu krisis iklim saat membeli mobil listrik.

Kesadaran mengasosiasikan membeli mobil listrik dengan upaya mengurangi emisi GRK dan menciptakan kualitas udara yang lebih baik saja masih rendah, apalagi memahami urgensi transisi energi untuk mengatasi krisis iklim. Padahal, strategi penanganan krisis iklim paling efektif sebenarnya dengan pendekatan bottom up, bukan top down. Dengan pendekatan bottom up, memungkinkan masyarakat memiliki kepedulian sosial, sehingga tergerak untuk beradaptasi dan berupaya memitigasi dampak krisis iklim.

Pengarusutamaan isu harus dapat menjawab bagaimana krisis iklim sangat berdampak terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat dan mengapa masyarakat harus berkontribusi untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkannya. Pengarusutamaan isu perlu menggarisbawahi semakin besarnya potensi dampak dan risiko kerugian jika krisis iklim terus dibiarkan. Pengarusutamaan isu juga perlu menekankan efek krisis iklim yang meningkatkan kerentanan setiap individu.

Nahasnya, kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat miskin kota, sampai petani dan nelayan — yang berkontribusi paling sedikit terhadap emisi GRK — justru menjadi paling menderita akibat krisis iklim. Pada dasarnya, krisis iklim adalah krisis keadilan. Pengarusutamaan isu krisis iklim perlu menyorot ketidakadilan tersebut.

Namun, efektivitas pengarusutamaan isu krisis iklim di Indonesia dalam menyadarkan masyarakat sangat tergantung aspek yang disorot. Yang paling sensitif bagi masyarakat Indonesia adalah aspek ekonomi. Khususnya, apabila krisis iklim mengganggu penghasilan seseorang. Misalnya, krisis iklim menyebabkan petani lebih sering gagal panen karena penggeseran musim tanam, cuaca ekstrem yang meningkatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, hingga kekeringan. 

Gagal panen juga disebabkan gangguan dari kenaikan populasi tikus akibat musim kemarau dan musim hujan di Indonesia semakin hangat, yang meningkatkan kelangsungan hidup dan memperpanjang siklus perkembangbiakan hewan pengerat itu. Sebenarnya, krisis iklim tidak hanya berdampak terhadap perekonomian di sektor perikanan dan pertanian belaka, tetapi juga ke sektor pariwisata sampai peternakan.

Krisis iklim menurunkan produktivitas dan kualitas produk hasil peternakan. Peningkatan suhu akibat krisis iklim menurunkan nafsu makan sapi yang berpotensi mengubah rasa susu dan produk-produk turunan lainnya. Peternakan sapi perah dipaksa harus beradaptasi dengan memodifikasi iklim mikro dalam kandang. Solusi perbaikan atap kandang atau penerapan sistem close house dalam peternakan sebagai upaya adaptasi krisis iklim, telah menambah biaya produksi sapi perah.

Kedua, pengarusutamaan isu iklim dengan menyorot dampak dan kerugiannya dari aspek kesehatan. Krisis iklim berisiko menyebabkan masalah kesehatan mental, heat-relate illness, serta cedera dan kematian akibat suhu atau cuaca ekstrem. Krisis iklim juga berisiko mengakibatkan malnutrisi, zoonosis, penyakit tular makanan, penyakit tular air, serta penyakit tular vektor.

Ketiga, pengarusutamaan isu iklim dalam menyorot dampak dan kerugiannya dari aspek sosial. Krisis iklim memperparah ketimpangan gender dengan menguatkan norma sosial berbasis budaya patriarkal yang sudah mengakar dalam masyarakat. Dampaknya, krisis iklim melipatgandakan beban perempuan karena harus menanggung lebih banyak pekerjaan domestik.

Pengarusutamaan isu krisis iklim merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama. Meski, pemerintah, NGO, agamawan, wartawan, seniman, sampai ilmuwan perlu mengambil peran lebih dengan menjadi katalisator dalam pengarusutamaan isu krisis iklim ini.

Kawal keadilan iklim

Setelah isu krisis iklim sudah diarusutamakan, urgensi transisi energi yang berkeadilan perlahan-lahan akan terbangun dalam kesadaran masyarakat. Indonesia tertinggal dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia, dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) karena penduduk negara-negara tetangga itu lebih memahami isu krisis iklim. Bahkan, usai kebijakan feed-in tariff (FiT) dicabut, kapasitas terpasang PLTS di Vietnam, Thailand, dan Malaysia, tetap meningkat.

Sedangkan di Indonesia, kenaikan PLTS atap justru didorong sektor industri dan komersial, bukan pelanggan rumah tangga. Hingga Juli 2025, kapasitas terpasang PLTS atap masih 538 MWp atau 10.882 pelanggan PLN. Padahal, sebagai negara tropis, Indonesia sebenarnya memilik potensi pengembangan PLTS yang sangat besar. Indonesia juga berpotensi mengurangi emisi GRK hingga jutaan ton CO2 per tahun jika kapasitas terpasang PLTS sebesar 1 GW. Menurut riset IESR pada 2021, potensi teknis PLTS di Indonesia bisa mencapai 3.000 sampai 20.000 GWp. 

Merujuk potensi teknis PLTS tersebut, dalam setahun, Indonesia bisa mengurangi emisi GRK hingga ratusan juta ton CO2. Namun, transisi energi berkeadilan sekaligus aksi iklim tidak akan pernah terjadi di Indonesia tanpa kesadaran masyarakat yang terwujud melalui partisipasi bermakna dalam mengawal semua kebijakan pemerintah dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga Nationally Determined Contribution (NDC) 2025. Partisipasi bermakna masyarakat menjadi kekuatan yang menentukan apakah keadilan iklim bisa benar-benar terwujud di Indonesia.

Related article

Ilustrasi pekerja sedang mengecek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). (Sumber: Detik.com)

Bappenas Susun Peta Pengembangan Pekerjaan Hijau

21 November 2023

footer yayasan