Siapa Menanggung Beban, Siapa Menikmati Manfaat

29 September 2025

-

Dony P. Herwanto

Siapa Menanggung Beban, Siapa Menikmati Manfaat

Tulisan karya Dony P. Herwanto ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.

Transisi energi di Indonesia sedang dipasarkan sebagai cerita besar: kisah tentang masa depan hijau, kemandirian bangsa, dan partisipasi semua warga negara. Di podium-podium konferensi, para pejabat dan korporasi silih berganti menabuh genderang optimisme. Namun, di balik gegap gempita narasi itu, ada kisah lain yang jarang terdengar: kisah warga di lingkar tambang, komunitas pesisir, dan kelompok marjinal yang hidupnya justru ditentukan tanpa suara. Mereka hadir di ruang publik, tapi suaranya diperlakukan sebagai catatan kaki.

Di sinilah pertarungan berlangsung: antara narasi elite yang dominan dengan kisah warga yang terpinggirkan. Transisi energi bukan sekadar soal teknologi panel surya atau investasi miliaran dolar, tapi juga soal siapa yang berhak berbicara, siapa yang diabaikan, dan bagaimana demokrasi diuji di tengah agenda hijau yang digadang-gadang.

Di banyak forum, warga hanya diundang untuk memenuhi kuota partisipasi. Pendapat mereka ditampung, dicatat, lalu dipoles menjadi laporan konsultasi publik. Sementara keputusan final tetap diambil dalam ruang tertutup yang dikuasai oleh pejabat, teknokrat, dan pemilik modal. Inilah bentuk partisipasi semu yang, alih-alih memperkuat demokrasi energi, justru mereproduksi ketimpangan komunikasi.

Kesenjangan ini persis seperti yang dijelaskan dalam Co-Cultural Theory: kelompok dominan menentukan aturan main komunikasi, sementara kelompok co-cultural—dalam hal ini warga yang terdampak langsung—dipaksa menyesuaikan diri atau bungkam. Kisah mereka tereduksi menjadi data tambahan, bukan sebagai pengetahuan yang memandu arah kebijakan. Dengan demikian, transisi energi yang digembar-gemborkan sebagai proyek inklusif, sejatinya berjalan di atas fondasi eksklusi.

Menariknya, kelompok-kelompok ini tidak selalu pasif. Mereka justru mengembangkan strategi komunikasi khas co-cultural. Ada yang memilih strategi non-assertive, misalnya menerima proyek dengan terpaksa karena takut kehilangan tanah sepenuhnya. Ada pula yang mengadopsi strategi accommodation: ikut dalam program energi terbarukan sambil tetap memperjuangkan hak mereka, seperti komunitas di Sumba yang membangun mikrohidro dengan prinsip gotong royong. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan strategi assertive separation, yakni menolak total proyek energi yang mengancam ruang hidup mereka, seperti perlawanan warga Batang terhadap PLTU.

Masalah mendasar dari transisi energi di Indonesia adalah sifatnya yang elitis dan sentralistis. Asumsi ini dapat kita lihat dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada 2022. Nilainya fantastis: 20 miliar dolar Amerika. Narasinya indah: mempercepat peralihan dari batubara ke energi terbarukan. Tapi siapa yang duduk di meja perundingan? Siapa yang menentukan prioritas? Hampir semua berasal dari kalangan pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan perusahaan besar. Suara masyarakat sipil hanya sekadar formalitas, masuk lewat konsultasi terbatas yang minim pengaruh.

Ironisnya, pembangunan energi terbarukan pun tidak sepenuhnya bebas dari praktik lama. Proyek-proyek PLTS skala besar atau bendungan untuk PLTA kerap menggusur lahan warga, menyingkirkan masyarakat adat, dan mengabaikan hak-hak komunitas. Polanya sama: rakyat kecil menanggung beban, sementara keuntungan mengalir ke segelintir pemilik modal. Jika pola ini berlanjut, transisi energi hanya akan mengganti bahan bakar, tetapi tidak mengganti struktur ketidakadilan.

 

Padahal, keadilan iklim menuntut lebih dari sekadar penggantian teknologi. Ia menuntut distribusi yang adil: siapa yang menanggung beban, siapa yang menikmati manfaat. Ia juga menuntut keadilan prosedural: siapa yang boleh bersuara dalam perumusan kebijakan. Dan yang tak kalah penting, keadilan iklim menuntut pengakuan: bahwa masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, dan kelompok rentan lain adalah subjek penting, bukan sekadar objek pembangunan.

Pada titik ini, narasi menjadi sangat penting. Karena transisi energi - sekali lagi - bukan hanya soal mesin, pipa, atau panel surya, melainkan juga soal siapa yang menguasai narasi. Selama ini, narasi besar dikuasai elite: pemerintah bicara soal pertumbuhan ekonomi, korporasi bicara soal investasi dan teknologi, lembaga donor bicara soal iklim global. Yang hilang adalah cerita warga biasa yang hidupnya berubah akibat kebijakan energi.

Narasi warga mampu memperlihatkan bahwa transisi energi bukan sekadar proyek teknokratis, tetapi perjuangan eksistensial: soal hak untuk hidup sehat, hak untuk tetap tinggal di tanah leluhur, hak untuk tidak lagi menghirup asap PLTU. Narasi ini penting karena ia membongkar ketidakadilan yang kerap disembunyikan di balik retorika hijau. Ia juga penting untuk membangun solidaritas lintas komunitas.

Bayangkan jika kisah masyarakat adat di Kalimantan, nelayan di pesisir Jawa, dan petani di Nusa Tenggara bisa saling bersambung. Bayangkan jika mereka bisa berbicara dalam satu panggung yang sama, melawan narasi tunggal transisi energi ala elite. Itu akan menjadi kekuatan politik baru, bukan hanya moral.

Kita juga perlu belajar dari inisiatif energi berbasis warga. Mikrohidro di Sumba, energi surya komunal di Bali, atau koperasi listrik desa di Jawa Barat menunjukkan bahwa transisi energi bisa dijalankan dengan cara yang lebih adil. Energi tidak harus selalu berskala besar. Energi kecil yang dikelola bersama justru bisa memberi dampak besar: kedaulatan, partisipasi, dan rasa memiliki.

Tentu, inisiatif seperti ini tidak akan bisa menggantikan kebutuhan energi nasional yang besar. Tapi ia memberi arah: transisi energi bukan hanya soal menutup PLTU dan menggantinya dengan PLTS raksasa, melainkan juga soal membangun demokrasi energi dari bawah.

Jika pemerintah serius dengan jargon “transisi energi berkeadilan”, maka mereka harus membuka ruang partisipasi nyata bagi warga. Tidak cukup dengan konsultasi formal. Warga harus dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Energi komunitas harus difasilitasi, bukan dipinggirkan. Dan yang paling penting, pemerintah harus berani memutus ketergantungan pada korporasi energi besar yang selama ini terlalu dominan.

Transisi energi adalah peluang sejarah. Tapi ia juga bisa menjadi jebakan baru. Jika hanya didefinisikan oleh elite, transisi energi berpotensi melanjutkan pola lama: pembangunan yang eksploitatif, menyingkirkan yang lemah, dan menguntungkan yang kuat.

Pertanyaan besarnya: maukah kita menjadikan transisi energi sebagai momentum demokratisasi? Ataukah kita akan membiarkannya menjadi sekadar proyek teknokratik yang penuh jargon?

Kita harus ingat, energi bukan sekadar listrik yang mengalir ke rumah-rumah kita. Energi adalah soal kehidupan. Karena itu, transisi energi harus lebih dari sekadar transisi teknologi. Ia harus menjadi transisi keadilan.

Keadilan iklim menuntut lebih dari sekadar teknologi: ia menuntut keberanian untuk mendengarkan. Membuka ruang agar warga bisa berbicara dengan bahasa mereka sendiri, tanpa harus tunduk pada tata cara komunikasi yang diciptakan elite. Tanpa itu, transisi energi akan terus berjalan di atas landasan eksklusi, meninggalkan demokrasi sebagai jargon kosong, dan menjadikan energi hijau hanya sekadar proyek elite, bukan kisah bersama.

Dengan demikian, masalah energi di Indonesia bukan hanya soal infrastruktur atau investasi, melainkan juga soal siapa yang berhak bicara dan siapa yang dibungkam.

 

Related article

Indonesia Bisa Jadi Produsen Utama Baterai Kendaraan Listrik (Instagram @jokowi)

Hal Ini Cegah Ambisi Indonesia Jadi Raja Kendaraan Listrik

06 February 2023

footer yayasan