Transisi energi telah menjadi komitmen global untuk menghadapi krisis iklim. Namun, di balik jargon hijau dan kampanye keberlanjutan, terdapat ironi besar yang terjadi di Indonesia. Sejumlah bank yang mengklaim mendukung transisi energi ternyata masih mendanai aktivitas yang justru memperparah polusi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Komitmen Iklim yang Kontradiktif
Sebuah kajian yang dilakukan oleh lembaga advokasi lingkungan Market Forces mengungkap fakta: enam dari dua belas bank yang menyatakan diri sebagai pendukung komitmen iklim dan transisi energi ternyata masih menyalurkan pembiayaan ke perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada batu bara.
Target utama pembiayaan ini adalah perusahaan-perusahaan afiliasi Harita Group, salah satu konglomerasi industri nikel terbesar di Indonesia. Meskipun tidak mendanai batu bara secara langsung, bank-bank ini tetap memberikan pinjaman kepada anak-anak perusahaan Harita yang mengoperasikan pabrik peleburan dengan menggunakan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan batu bara.
Adapun dua belas bank yang tercatat dalam kajian tersebut adalah:
OCBC Bank
UOB
Maybank
BNP Paribas
DBS
CIMB
Bank Mandiri
BCA
BNI
Indonesia Eximbank
KEB Hana Indonesia
China Eximbank
Ironisnya, sebagian besar bank ini memiliki komitmen publik terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance(ESG), yang seharusnya mengarahkan mereka untuk menjauhi pembiayaan terhadap aktivitas beremisi tinggi.
Dominasi Energi Fosil dalam Operasi Harita
Harita Group memang memiliki rencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 MW pada tahun 2025. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap PLTU batu bara masih sangat tinggi.
Saat ini, Harita telah mengoperasikan PLTU dengan total kapasitas 890 MW dan tengah membangun tambahan 1,2 GW (1.200 MW). Tak berhenti di situ, perusahaan ini juga merencanakan pembangunan 25 PLTU batu bara lainnya dengan total kapasitas 2,54 GW, jauh lebih besar dibanding rencana pembangunan PLTS mereka sebesar 1,3 GW.
"Kesenjangan ini menggarisbawahi terbatasnya peran energi terbarukan dalam strategi energi Harita," ungkap Bin Bin Mariana, Asia Energy Finance Campaigner dari Market Forces.
Hal ini memperjelas bahwa strategi dekarbonisasi yang dijalankan Harita masih jauh dari kata ideal dan tidak sejalan dengan prinsip transisi energi berkeadilan.
Lonjakan Emisi dan Ancaman Iklim
Berdasarkan data emisi gas rumah kaca yang dihimpun oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis(IEEFA), emisi dari kegiatan Harita Group menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan:
2022: 3,01 juta ton CO₂e/tahun
2023: 7,98 juta ton CO₂e/tahun
2028 (proyeksi): 22,45 juta ton CO₂e/tahun
Sebagai perbandingan, emisi Harita pada 2023 setara dengan emisi tahunan dari 1,8 juta mobil konvensional. Jumlah tersebut juga mendekati 1% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia, sebuah angka yang sangat besar untuk satu kelompok usaha saja.
Tanpa perubahan mendasar pada intensitas emisi, Harita akan menjadi salah satu kontributor emisi terbesar dari sektor industri di Indonesia. Dalam konteks ini, dukungan finansial dari perbankan hanya akan memperparah masalah.
“Menahan dukungan finansial dalam kondisi ini akan mendorong Harita mengurangi dan akhirnya menghilangkan ketergantungan pada bahan bakar fosil sambil mengembangkan rencana jelas dan terukur untuk dekarbonisasi yang sejalan dengan Perjanjian Paris,” tegas Market Forces.
Dana Triliunan Rupiah untuk Hilirisasi Fosil
Sinyal kontradiktif terhadap transisi energi tak hanya datang dari sektor perbankan, tetapi juga dari arah kebijakan pemerintah. Pada awal 2025, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 mendorong percepatan hilirisasi industri, termasuk sektor mineral dan batu bara.
Sebagai tindak lanjutnya, tiga bank milik negara, Bank Mandiri, BRI, dan BNI dikabarkan akan menjadi bagian dari perusahaan investasi bernama Danantara, yang akan mengelola dana sebesar Rp1.000 triliun untuk membiayai proyek-proyek hilirisasi.
Meskipun hilirisasi diklaim mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Beberapa wilayah yang menjadi lokasi industri hilirisasi seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara justru mengalami peningkatan angka kemiskinan.
Tidak hanya itu, dampak lingkungan dan sosial dari industri ini juga sangat meresahkan:
Pencemaran pantai dan perairan akibat limbah tambang
Kerusakan sumber air bersih yang digunakan masyarakat lokal
Menurunnya produktivitas lahan pertanian dan perikanan
Dominasi tenaga kerja asing dan minimnya gaji bagi pekerja lokal
Dalam laporan yang diterbitkan oleh Mongabay (18 April 2025) dan Katadata (11 Februari 2025), sejumlah warga mengeluhkan bahwa pembangunan industri justru mengusir mereka dari lahan produktif dan merampas hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Transisi Energi atau Greenwashing?
Pertanyaan penting yang muncul kemudian adalah: apakah komitmen transisi energi yang disampaikan oleh bank dan pemerintah benar-benar tulus, atau hanya sekadar bentuk greenwashing?
Greenwashing terjadi ketika institusi atau perusahaan menampilkan citra ramah lingkungan untuk tujuan reputasi, tetapi pada kenyataannya tetap menjalankan praktik yang merusak lingkungan.
Jika bank-bank yang menyatakan komitmen iklim tetap mendanai proyek-proyek dengan emisi tinggi, maka transisi energi yang diharapkan hanya akan menjadi ilusi. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap portofolio pembiayaan dan arah investasi, maka tujuan mencapai emisi nol bersih (net-zero emission) pada 2060 akan sangat sulit terwujud.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mendorong transisi energi yang adil dan nyata, berikut beberapa langkah yang perlu dilakukan:
Transparansi dan pelaporan publik terhadap portofolio pembiayaan bank, terutama yang berkaitan dengan sektor energi dan industri berat.
Penerapan prinsip-prinsip ESG secara ketat, bukan hanya di atas kertas.
Evaluasi ulang terhadap proyek hilirisasi yang masih bergantung pada energi fosil.
Dorongan bagi perusahaan pengguna batu bara untuk menyusun dan melaksanakan roadmap dekarbonisasi.
Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait pembangunan industri.
Penutup
Transisi energi seharusnya tidak berhenti pada slogan dan komitmen di atas kertas. Ia harus diwujudkan melalui aksi nyata, terutama oleh lembaga keuangan yang memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembangunan. Jika bank masih membiayai polusi, maka keberlanjutan yang diharapkan hanyalah hijau di luar tapi abu-abu di dalam.