Energi Kotor Itu Dibayar dengan Uang Kita

29 September 2025

-

Periyadi

Energi Kotor Itu Dibayar dengan Uang Kita

Tulisan karya Periyadi ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.

“Satu nyawa terlalu banyak untuk menjadi korban”. Sejak lama, terdengar lirih suara seorang Ibu yang menggema pelan disetiap sudut tambang “Kami meminta keadilan. Kami menolak diam, menunggu di rumah sembari menunggu janji manis. Kami ingin pemerintah tegas,” ucap seorang Ibu yang anaknya tenggelam di bekas lubang galian tambang, Kalimantan Timur pada 2016 silam. Luka ini bukan sekadar kehilangan satu atau dua jiwa, melainkan juga luka kolektif yang dirasakan setiap ibu, setiap keluarga, setiap rakyat yang dipaksa menanggung beban akibat arogansi kekuasaan. Ironi ini kian terasa pedih bila kita ingat, di saat rakyat dikorbankan dan suara mereka ditekan, penguasa justru berpesta membagi-bagikan tanda jasa kehormatan kepada 141 orang, ketimbang mendengarkan aspirasi rakyat. Padahal penghargaan itu semestinya hanya untuk mereka yang benar-benar berjuang demi kesejahteraan rakyat.

 

Di antara nama penerima tanda kehormatan, salah satu yang mencuri perhatian adalah Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam, pengusaha batu bara dan sawit asal Kalimantan Selatan. Ia dikenal sebagai pemilik Jhonlin Group sekaligus pendiri PT Jhonlin Baratama, menjadikannya salah satu pengusaha berpengaruh di Indonesia. Sosok lain yang turut menuai sorotan adalah Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia yang pernah terjerat kasus korupsi aliran dana BI. Bukan hanya oligarki yang menopang batubara, tapi juga uang nasabah bank-bank milik negara yang tanpa sadar ikut membiayainya.

 

Misalnya saja setiap kali seorang petani menabung di BRI, seorang guru menyimpan gaji di BNI, atau seorang pekerja kantoran menerima transfer lewat Mandiri, ada bagian dari uang itu yang bisa jadi diputar, disalurkan, dan sebagian jatuh untuk membiayai proyek batu bara yang justru memperparah krisis iklim. Batu bara bukan sekadar noda hitam industri kotor ini, melainkan juga jejak uang para nasabah yang tanpa sadar turut berkontribusi atas hidup yang semakin sulit dijalani.

 

Sejalan dengan itu, sektor perbankan di Indonesia masih deras mengalirkan pembiayaan untuk industri batu bara. Koalisi Bersihkan Bankmu merilis laporan terbarunya "Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara.", yang mengkaji peran perbankan nasional dalam pembiayaan industri batu bara mengungkap bahwa lima bank domestik Indonesia seperti Mandiri, BRI, BNI, BCA, dan Permata masih gencar mendukung industri batubara, dengan total kucuran dana mencapai US$ 5,6 miliar. 

 

Sementara itu, Standard Chartered salah satu bank terbesar di Inggris, memutuskan menghentikan pendanaan bagi PT Adaro Indonesia Tbk dan lebih dari 100 lembaga keuangan global lainnya sudah menghentikan pendanaan batu bara. Ketika dunia menutup pintu bagi batu bara, bank-bank BUMN justru memberikan karpet merah ke sektor kotor ini. Menurut laporan Environment, Social, and Corporate Governance (ESG) pada  2023 mencatat, mulai dari Bank Mandiri Rp9,7 triliun, BNI Rp10,2 triliun (bahkan turun dari Rp10,9 triliun pada 2022), dan BRI hanya Rp6,02 triliun, jumlahnya begitu sedikit dalam berinvestasi terhadap energi terbarukan, jika dibandingkan dengan pembiayaan terhadap energi kotor

 

Tuntutan agar bank milik negara menghentikan pendanaan untuk energi kotor sangat beralasan, terlebih seperti Bank Mandiri, BNI, BRI dan BCA merupakan bagian dari inisiatif “First Movers on Sustainable Banking” yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2015 dan sudah mulai menerbitkan obligasi berkelanjutan. Terpantau pada Januari 2024 OJK justru merilis Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang masih memasukkan PLTU batu bara captive ke dalam kategori “transisi”. Padahal, jenis pembangkit ini seharusnya tegas dimasukkan ke kategori “non-eligible” karena bertentangan dengan semangat keberlanjutan. Proyek batu bara masih masuk dalam kategori ‘kuning’. Artinya, industri ini berada dalam masa transisi antara ‘merah’ dan ‘hijau’ dan masih boleh dibiayai oleh bank nasional. Jika Indonesia serius menghadapi krisis iklim, maka pensiun dini PLTU batu bara harus menjadi kewajiban mutlak, bukan sekadar pilihan.

 

Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA), batu bara menyumbang sekitar 44% dari total emisi CO₂ global, menjadikannya sumber pencemar terbesar di dunia. Setiap tahun, pembakarannya melepaskan jutaan ton polusi berisi zat beracun seperti merkuri, timbal, arsenik, kadmium, hingga partikel halus yang secara perlahan merusak tubuh manusia. Jejak kehancuran ini terbentang di sepanjang siklus hidup batubara mulai dari tambang, pencucian, transportasi, hingga pembakaran di PLTU. Konsekuensi kesehatan dan lingkungan yang serius diterima oleh masyarakat sekitar dan para pekerja dalam sektor ini. Bahkan, laporan CERAH Does Indonesian Banking Still Support Coal mencatat bahwa pada 2022 saja, batu bara diperkirakan telah merenggut setidaknya 10.500 jiwa di Indonesia.

 

Julukan Indonesia sebagai “the dirty man of Asia” akan bertahan lebih lama, karena ketergantungan yang besar pada batu bara, yang justru semakin dipicu oleh aktor-aktor politik demi kepentingan pribadi. Upaya pemerintah untuk menekan produksi batu bara pun berbalik arah. Target pengurangan produksi menjadi 413 juta ton pada 2017 tidak tercapai, malah meningkat hingga 477 juta ton. Kontradiktif dengan itu, Indonesia telah menyatakan komitmen transisi energi dengan target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 serta Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Namun, berbagai dokumen dan kebijakan pemerintah justru memperlihatkan arah yang tidak sinkron. 

 

Kebijakan energi terbarukan di Indonesia masih belum benar-benar berpihak pada energi bersih. Misalnya saja, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sudah memuat target penurunan emisi karbon. Namun di sisi lain, Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) PLN tidak sejalan dengan rencana tersebut. Kenyataannya, pemerintah justru masih membuka jalan pembangunan PLTU baru untuk mendukung industri hilirisasi nikel lewat skema captive power, serta terus mengandalkan pendanaan batu bara melalui lembaga keuangan BUMN.

 

Wacana pensiun dini PLTU memang kerap disuarakan pemerintah lewat forum internasional untuk mengatasi ini semua, termasuk saat KTT G20 di Rio de Janeiro. Namun, persoalan pendanaan masih menjadi batu sandungan utama pemerintah. Alih-alih hadir dengan kebijakan yang tegas, Permen ESDM No. 10/2025 justru menempatkan pensiun dini PLTU hanya sebagai pilihan sukarela, bukan kewajiban. Hal ini terlihat dari bunyi Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal terdapat ketersediaan dukungan pendanaan…”, yang memberi kewenangan fakultatif bagi pemerintah untuk cuci tangan. Artinya, pemerintah bisa dengan mudah menunda, bahkan mengabaikan, pelaksanaan pensiun dini PLTU dengan dalih keterbatasan anggaran.

 

Hal ini dikeluhkan oleh menteri ESDM Bahlil Lahadalia, 26 Mei 2025  “Udahlah, negara ini lagi butuh uang. Mau pensiun? Boleh, besok pagi saya pensiunkan, oke. Tapi ada nggak dana donor yang mau biayain?”. Terlihat jelas sikap tidak konsisten Pemerintah dalam mewujudkan transisi energi secara berkeadilan. Bukannya mempercepat penghapusan energi kotor, regulasi yang dibuat oleh kementerian ESDM  justru memberi ruang bagi PLTU untuk terus beroperasi hingga melewati target pengurangan emisi.

 

Jika bank-bank di Indonesia terus abai terhadap krisis iklim dan terus membiayai energi kotor, mereka berisiko ditinggalkan nasabah yang semakin sadar bahwa tabungannya sedang dipakai untuk memperparah krisis iklim. Hal ini diperkuat oleh Survei Yayasan Indonesia Cerah yang mencatat 86% anak muda cemas akan dampak krisis iklim, sementara bank besar seperti Mandiri, BCA, BNI, dan BRI gencar membidik mereka sebagai pasar utama. Jika berani menunjukkan komitmen nyata melalui pendanaan yang pro-solusi iklim, bank-bank tersebut berpeluang besar memenangkan kepercayaan generasi muda dan tampil sebagai pemimpin sektor keuangan.

 

Disisi lain, Celios justru menawarkan solusi konkret melalui skema debt swap atau pertukaran utang secara bertahap tanpa mengganggu APBN. Debt swap adalah menukar kewajiban utang berupa uang dengan pembayaran berupa kewajiban lain yang menguntungkan negara pemberi utang. Skema dept swap bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Pada Tahun 2011, pemerintah Indonesia dan Amerika pernah membuat kesepakatan debt-for-nature swap senilai US$28,5 juta (Rp441,7 miliar) melalui skema Tropical Forest Conservation Act. Utang tersebut dialihkan untuk mendanai program konservasi keanekaragaman hayati dan hutan tropis di Kalimantan. Skema ini dinilai relevan karena pemensiunan PLTU kerap dianggap berisiko tinggi dan terlalu kompleks, sehingga enggan dilirik oleh banyak lembaga keuangan. 

 

Dengan hadirnya berbagai skema alternatif, pemerintah seharusnya berani mengeksplorasi dan menelaah lebih dalam setiap peluang yang ada. Komitmen pensiun dini PLTU batu bara tidak boleh berhenti sebatas omon-omon. Di sisi lain, upaya menekan emisi karbon demi mencapai target Net Zero Emission 2060 harus dipercepat, salah satunya melalui penghentian dini operasional PLTU batu bara. Sudah saatnya perbankan lebih bijak dan bertanggung jawab dalam mengelola serta menyalurkan dana dari para nasabahnya.

 

Namun perlu menjadi catatan, menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menekankan bahwa penghentian operasional PLTU akan membawa dampak besar, tidak hanya bagi para pekerja langsung di PLTU, tetapi juga bagi seluruh mata rantai pasok yang terkait. Tidak beroperasinya PLTU juga akan mempengaruhi pendapatan sektor-sektor lain dalam rantai pasok, mulai dari transportasi hingga pertambangan batu bara. Pelaku usaha kecil yang selama ini bergantung pada kebutuhan pekerja PLTU pun berpotensi kehilangan penghasilannya.

 

Meski begitu, jika strategi transisi energi dijalankan secara terencana, peluang baru dari pengembangan energi terbarukan justru bisa menghadirkan dampak positif bagi perekonomian, sejalan dengan perhitungan Celios dan Greenpeace Indonesia, transisi menuju ekonomi hijau di Indonesia berpotensi menciptakan hingga 19,4 juta lapangan kerja baru dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan. Karena itu, penting juga menyiapkan proses transisi pekerja di seluruh rantai pasok batu bara, agar mereka memiliki keahlian baru yang sesuai dengan arah perubahan.

 

Artikel Terkait

Survei: Anak Muda Desak Pemimpin Dunia Lakukan Pemulihan Hijau

Anak Muda Desak Pemimpin Dunia Lakukan Pemulihan Hijau

30 Agustus 2021

footer yayasan