Di tengah gencarnya agenda transisi energi global, Indonesia berada dalam sorotan sebagai salah satu produsen utama nikel dunia. Dengan narasi kontribusi terhadap dekarbonisasi dan dorongan hilirisasi mineral, sektor nikel diposisikan sebagai tulang punggung ekonomi hijau nasional. Namun, di balik retorika keberlanjutan ini, berbagai temuan menunjukkan bahwa praktik industri di lapangan masih jauh dari prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang kredibel.
Briefing Note ini mengurai secara kritis bagaimana ESG kerap dijadikan label simbolik tanpa perbaikan struktural dalam tata kelola industri. Berdasarkan berbagai studi dan laporan lapangan, termasuk hasil Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) di Palu, temuan kami menyoroti risiko deforestasi, konflik sosial, ketergantungan terhadap PLTU batu bara, serta rendahnya transparansi data dan akuntabilitas pelaku industri nikel.
Lebih jauh, dokumen ini mengkaji bagaimana praktik ESG di Indonesia belum memenuhi standar internasional seperti EU Battery Passport dan Corporate Sustainability Due Diligence Directive, yang dapat berdampak langsung pada daya saing nikel nasional di pasar global.
Briefing Note ini ditujukan untuk memperkaya diskusi kebijakan dengan perspektif yang lebih kritis dan berbasis data, dalam upaya mendorong tata kelola mineral kritis yang lebih adil, transparan, dan bertanggung jawab.