Batu Bara ke Gas: Solusi Transisi Energi atau Beban Ekonomi?

07 Agustus 2025

-

Sartika Nur Shalati

Batu Bara ke Gas: Solusi Transisi Energi atau Beban Ekonomi?

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 masih memasukkan energi fosil dalam bauran ketenagalistrikan sebesar 16,6 GW, dengan 10,3 GW di antaranya berasal dari pembangkit listrik berbasis gas. Meski gas kerap dianggap lebih “bersih” daripada batu bara, analisis CERAH menunjukkan bahwa emisi siklus hidup gas tetap tinggi, terutama akibat kebocoran metana dalam proses ekstraksi, pencairan, dan distribusi LNG. Emisi karbon dioksida dari pembangkit gas ini diperkirakan mencapai 10–11 juta ton CO₂ per tahun, yang berpotensi menghambat pencapaian target Net Zero Emission 2060 dan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil.

Dari sisi fiskal, ekspansi pembangkit gas menimbulkan beban yang signifikan bagi keuangan negara. Biaya pembelian gas oleh PLN, ditambah selisih Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan harga pasar yang ditanggung negara, diperkirakan mencapai total Rp155,8 triliun per tahun pada 2034. Di saat bersamaan, pembangunan infrastruktur gas seperti terminal LNG, tangki penyimpanan, dan jaringan pipa membutuhkan investasi triliunan rupiah, namun tetap berisiko menjadi stranded assets akibat rendahnya utilisasi dan meningkatnya daya saing energi terbarukan.

Briefing note ini disusun untuk memberikan analisis kritis terhadap peran gas dalam RUPTL 2025–2034 dan mendorong peninjauan ulang kebijakan energi nasional secara strategis dan progresif, agar Indonesia tidak terjebak dalam beban fiskal dan jebakan iklim akibat investasi jangka panjang pada energi fosil.

Artikel Terkait

Energi Bersih Terbukti Lebih Menguntungkan Ketimbang Fosil

Energi Bersih Terbukti Lebih Menguntungkan Ketimbang Fosil

22 Juni 2021

footer yayasan