Tahun 2024 mencatat berbagai dinamika terkait transisi energi dan keadilan iklim di Indonesia. Tahun ini diwarnai oleh momen penting, seperti perdebatan kebijakan karbon, revisi regulasi PLTS atap pada awal tahun, serta peran Indonesia di COP29, hingga pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 di Brasil pada 20 November 2024 lalu yang menyebutkan bahwa Republik Indonesia akan menghentikan seluruh penggunaan energi fosil termasuk melakukan pemensiunan dini pembangkit listrik batu bara dalam 15 tahun ke depan. Dalam momentum yang sama, Prabowo juga menyebutkan bahwa Indonesia akan membangun pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas lebih dari 75 gigawatt pada periode yang sama. Meski ada komitmen yang ditunjukkan, kontroversi seperti peningkatan kapasitas PLTU dan pelibatan ormas dalam pengelolaan tambang mencerminkan tantangan dalam mencapai transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
Laporan ini mengungkapkan tren, narasi, dan sentimen publik berdasarkan analisis percakapan digital dan pemantauan media. Narasi di media massa banyak berfokus pada kebijakan pemerintah, tokoh kunci seperti Presiden Jokowi dan pasangan Presiden terpilih Prabowo-Gibran, serta inisiatif BUMN seperti PLN dan Pertamina. Isu-isu seperti hilirisasi nikel dan kebijakan PLTU sering diangkat dalam konteks makro, namun tidak sepenuhnya beresonansi dengan audiens di media sosial.
Percakapan di media sosial menunjukkan pola berbeda, dengan lonjakan diskusi terjadi pada isu spesifik seperti debat presiden, rekor suhu tinggi di Makassar, dan pembubaran aksi Global Climate Strike. Sentimen publik terhadap isu lingkungan dan energi terbarukan cenderung netral, menunjukkan minimnya diskusi organik dan keterlibatan aktif. Narasi seringkali dipengaruhi oleh buzzer untuk meningkatkan visibilitas topik tertentu, seperti kebijakan hilirisasi nikel.
Laporan ini mengidentifikasi kesenjangan informasi yang signifikan. Media massa lebih fokus pada isu-isu kebijakan besar, sementara audiens mencari informasi praktis dan relevan secara lokal, seperti definisi energi terbarukan dan dampaknya. Selain itu, mispersepsi publik terhadap solusi energi palsu seperti CCS dan co-firing menunjukkan perlunya edukasi yang lebih baik.
Sebagai langkah strategis, penting untuk menyederhanakan konten agar lebih mudah dipahami audiens awam, memperkuat narasi tentang solusi energi bersih untuk mengurangi mispersepsi, dan membumikan kebijakan besar menjadi konten mikro melalui strategi digital yang relevan secara lokal. Keberhasilan transisi energi di Indonesia membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, serta komunikasi yang strategis untuk menjembatani kesenjangan informasi dan membangun dukungan publik yang lebih luas.