Tulisan karya Rio Ananda Andriana ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.
Layaknya pisau bermata dua, tata kelola mineral kritis di Indonesia bukan hanya soal angka cadangan sumber daya alam atau besarnya investasi, tetapi juga tentang nasib masyarakat yang hidup berdampingan dengan proyek-proyek tersebut. Di balik janji kesejahteraan dan transisi energi, ada suara-suara rakyat yang kehilangan sumber penghidupan. Dari hulu ke hilir, persoalan demi persoalan masih membelit. Mulai dari perebutan global atas mineral kritis, kebiasaan pemerintah mengobral komoditas sebagai alat diplomasi, hingga sikap abainya terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.
Salah satu sumber daya mineral kritis yang menjadi andalan pemerintah Indonesia adalah nikel. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yaitu 42% dari total cadangan global. Narasi hilirisasi nikel ini kerap dikaitkan dengan dukungan terhadap transisi energi melalui pengembangan proyek baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Namun, bagi masyarakat di dekat kawasan proyek, narasi besar itu sering kali berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa mereka justru menanggung beban ekologis.
Sejalan dengan persoalan tersebut, target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada 2025, serta 31% pada 2050 terancam sulit tercapai karena hilirisasi nikel masih bergantung terhadap energi fosil dengan manifestasinya berupa PLTU captive. Kondisi ini menunjukkan, bahwa alih-alih mempercepat transisi energi, kebijakan hilirisasi nikel berpotensi meninggalkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, sehingga komitmen pemerintah Indonesia terhadap masa depan berkelanjutan patut dipertanyakan.
Geliat Hilirisasi Nikel dan Transisi Energi Indonesia
Mineral kritis kini menjadi sumber daya alam yang semakin dilirik oleh negara-negara besar, salah satunya adalah Amerika Serikat (AS) dalam pengembangan teknologi hijau. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia tampak antusias dan sigap dalam membuka ruang bagi investasi sektor ini. Hal tersebut tercermin dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyebutkan, bahwa fasilitasi akses pertambangan kepada AS merupakan bagian dari program hilirisasi mineral kritis, sebuah agenda strategis rezim Presiden Prabowo Subianto.
Salah satu agenda yang pemerintah Indonesia prioritaskan adalah hilirisasi nikel, dengan alasan cadangan yang masih banyak dan proyeksi ke depannya akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian, utamanya dari produksi bahan baku untuk pembuatan baterai EV.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan hilirisasi nikel sebagai langkah strategis untuk menjadi pemain kunci dalam industri baterai EV di dunia. Hal ini sejalan dengan pengakuan dari Menteri Bahlil Lahadalia yang mempunyai keinginan agar negara seperti AS bisa memperoleh akses mineral kritis di Indonesia, yang disampaikannya pada saat pagelaran International Battery Summit 2025 di Jakarta. Pernyataan tersebut memperlihatkan sinyal keterbukaan pemerintah untuk menjadikan nikel sebagai komoditas unggulan dalam menarik dan memfasilitasi investasi dari negara-negara besar dalam pemberian akses tambang dengan narasi demi berkontribusi untuk transisi energi.
Berdasarkan laporan bertajuk “ESG Nickel Indonesia: Green Narratives, Gray Practices” yang diterbitkan oleh Yayasan Indonesia Cerah, disebutkan bahwa pada dasarnya lonjakan permintaan atas nikel dapat dipengaruhi juga oleh strategi geopolitik dan kebijakan industri global. Dalam konteks ini perlu diketahui, bahwa posisi Indonesia acap kali dianggap berkontribusi atas transisi energi global. Utamanya, ketika telah diterbitkannya regulasi yang melarang ekspor bijih nikel mentah di tahun 2020. Regulasi ini ditujukan sebagai upaya pemerintah untuk mendorong hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah nikel di dalam negeri sebelum diekspor dalam bentuk olahan ke luar negeri.
Imbas daripada adanya regulasi tersebut tercatat, bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi nikel global terus meningkat. Di tahun 2023, produksi nikel mencapai 3,363 juta ton, kemudian naik menjadi 3,526 juta ton pada 2024. Lalu, di tahun 2025, produksi diperkirakan akan menembus angka 3,735 juta ton. Hal itulah yang membuat Indonesia dianggap berkontribusi atas transisi energi global melalui produk hilirisasi nikelnya. Namun, yang menarik bahwa ternyata produksi nikel ini tidak sebanding dengan adanya permintaan global. Konsumsi global terhadap nikel di tahun 2025 diperkirakan mencapai 3,537 juta ton, atau lebih rendah dibandingkan perkiraan produksinya.
Kondisi surplus tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi Indonesia, apalagi jika menilik kualitas nikel yang diproduksi. Sebagian besar produk hilirisasi nikel yang dihasilkan di Indonesia masih berupa nikel kualitas rendah seperti feronikel dan nickel pig iron (NPI), dengan rata-rata produksi masing-masing 861 ribu ton dan 1,18 juta ton per tahun untuk bahan baku baja tahan karat.
Sementara itu, produksi nikel matte sebagai bahan baku baterai EV hanya sekitar 80 ribu ton atau 3,8% dari total produksi domestik. Data juga menunjukkan, bahwa produk turunan seperti feronikel dan NPI masih menjadi penyumbang terbesar ekspor turunan nikel Indonesia ke pasar global, dibandingkan nikel matte untuk bahan baku baterai EV. Kondisi ini membuat Indonesia berada pada posisi yang bias dalam narasi transisi energi global, karena lebih banyak menghasilkan produk untuk baja tahan karat, ketimbang produk untuk baterai EV untuk transisi energi.
Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa klaim pemerintah mengenai hilirisasi nikel sebagai langkah strategis untuk mendukung transisi energi melalui penyediaan bahan baku baterai EV tidak sepenuhnya tepat. Porsi produksi nikel untuk baterai EV masih tertinggal jauh dari produk nikel lainnya, sehingga narasi kontribusi terhadap transisi energi masih bersifat semu.
Di Persimpangan Antara Hilirisasi Nikel dan Transisi Energi
Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa Indonesia tengah berada di persimpangan krusial: apakah hilirisasi nikel benar-benar diarahkan sebagai strategi untuk mendukung transisi energi, atau sekadar dijadikan pintu masuk investasi yang justru melipatgandakan emisi karbon.
Keraguan ini semakin beralasan jika dikaitkan dengan laporan terbaru “Global Methane Tracker” yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA), yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang emisi metana terbesar ketiga di dunia dari sektor pertambangan batu bara.
Kontradiksi ini semakin mencolok jika disandingkan dengan komitmen Indonesia mencapai dekarbonisasi hingga net zero emissions (NZE) pada tahun 2060. Alih-alih menunjukkan kemajuan, tahapan menuju target tersebut masih jauh dari harapan. Laporan bertajuk “Indonesia Energy Transition Outlook 2025” yang diterbitkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bahkan menegaskan bahwa bauran energi terbarukan nasional masih jauh di bawah target 23% yang seharusnya tercapai pada 2025.
Kegagalan ini terutama disebabkan oleh ketergantungan besar Indonesia pada batu bara yang terus dipertahankan melalui pembangunan PLTU sebagai sumber utama pasokan listrik. Konsumsi batu bara pada sektor energi meningkat sebesar 5% dari 2022 ke 2023, kenaikan tersebut dikaitkan dengan program hilirisasi nikel yang secara signifikan mendorong aktivitas di industri pertambangan dan pengolahan mineral kritis.
Dalam praktiknya, hilirisasi nikel sangat bergantung pada PLTU captive yang beroperasi secara off-grid untuk memenuhi kebutuhan energi industri. Keberadaan PLTU captive ini kian marak dan terus bertambah, seiring derasnya arus investasi asing yang masuk melalui jalur diplomasi pemerintah Indonesia.
Regulasi yang berlaku saat ini justru tampak memberi legitimasi bagi keberadaan dan ekspansi PLTU captive. Melalui Pasal 4 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, pemerintah membuka celah yang sangat lebar untuk tetap membangun PLTU baru. Regulasi ini memang melarang pembangunan PLTU baru, namun dengan pengecualian tertentu, termasuk PLTU yang terintegrasi dengan industri berbasis hilirisasi nikel.
Celah hukum ini pada praktiknya memberi legitimasi bagi industri nikel untuk terus mengandalkan PLTU captive, meskipun jelas kontradiktif dengan agenda transisi energi. Dengan kata lain, Perpres ini bukanlah instrumen akselerasi dekarbonisasi, melainkan justru “jalan mulus” yang mengabadikan ketergantungan Indonesia pada batu bara.
Banyaknya fakta di atas menegaskan, bahwa tidak dapat disangkal jika proyek hilirisasi nikel belum selaras dengan agenda transisi energi Indonesia.
Transisi Energi Harus di Atas Hilirisasi Nikel
Hilirisasi nikel tak lebih dari proyek yang menjadikan narasi transisi energi sebagai tameng untuk melanggengkan arus investasi asing. Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan komitmen transisi energi Indonesia. Alih-alih mempercepat dekarbonisasi, ekspansi hilirisasi nikel hanya memperlebar jejak emisi dan memperdalam ketergantungan pada energi kotor.
Jika terus dipaksakan, target NZE di 2060 hanyalah ilusi, sementara beban ekologis, kerusakan sosial, dan derita masyarakat lokal akan menjadi warisan paling nyata dari ambisi semu tersebut.
Lebih dari 60% cadangan nikel Indonesia berada di pulau Sulawesi, menjadikannya episentrum pertumbuhan kawasan industri smelter dalam satu dekade terakhir. Namun, ekspansi masif karena hilirisasi nikel tersebut menimbulkan tantangan serius terhadap agenda transisi energi dan dekarbonisasi nasional.
PLTU captive yang menopang industri nikel di Sulawesi menghasilkan emisi sekitar 68 juta ton CO₂ pada 2024, atau 57% dari total emisi PLTU captive nasional. Jika dibandingkan dengan total emisi karbon nasional sebesar 880 juta ton CO₂, hilirisasi nikel Sulawesi menyumbang 12,3%.
Dampak buruk PLTU captive juga terlihat nyata di Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Abu batu bara menimbulkan penyakit pernapasan dengan ribuan kasus, termasuk ratusan di satu desa. Air laut berubah panas dan keruh, membuat ikan dan kerang hilang dari pesisir. Nelayan terpaksa beralih profesi menjadi ojek laut, sementara perempuan kehilangan sumber penghidupan tradisionalnya.
Hal serupa juga terjadi di Raja Ampat, Papua, yang sempat ramai diperbincangkan publik dengan tagar #SaveRajaAmpat. Aktivitas ekstraksi nikel di pulau kecil ini melanggar ketentuan hukum dan mengancam ruang hidup masyarakat serta ekosistem.
Hak konstitusional warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat semakin terkikis. Kebijakan hilirisasi nikel lebih banyak mencerminkan ambisi pemerintah semata, tanpa melibatkan masyarakat yang justru menjadi pihak paling terdampak.
Oleh sebab itu, penulis menilai akan lebih bijak apabila pemerintah membatasi proyek hilirisasi nikel yang output utamanya hanya berupa baja tahan karat, produk yang sejatinya bukan bahan baku kendaraan listrik.
Selain itu, pemerintah semestinya segera mencabut pasal pengecualian dalam Perpres 112 Tahun 2022 yang memungkinkan PLTU captive terus berkembang.
Indonesia memang memegang peran strategis sebagai penghasil nikel dunia untuk mendukung transisi energi global. Namun, hilirisasi nikel yang masih bergantung pada PLTU captive justru menjelma sebagai transisi energi semu.
Jika tata kelola mineral kritis tidak diperbaiki, transisi energi hanya akan menjadi jargon kosong yang mengulang pola lama: eksploitasi sumber daya alam dengan rakyat sebagai pihak yang dirugikan.
Terakhir, sudah saatnya semua elemen, termasuk masyarakat, aktivis, dan pemangku kepentingan menuntut aksi nyata secara kolektif agar komoditas mineral kritis, khususnya nikel, bukan hanya untuk dijadikan obralan di pasar global oleh pemerintah Indonesia. Tetapi juga untuk masa depan yang adil dan berkelanjutan dengan terwujudnya transisi energi yang berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Laporan
Alvin Putra Sisdwinugraha, dkk. Indonesia Energy Transition Outlook 2025: Navigating Indonesia’s Energy Transition at the Crossroads: A Pivotal Moment for Redefining the Future. Institute for Essential Services Reform (IESR), 2025.
International Energy Agency (IEA). Global Methane Tracker Documentation 2024 Version. International Energy Agency (IEA), 2024.
Jobit Parapat dan Catherine Hasan. Berkembangnya Captive Coal Power: Awan Gelap di Cakrawala Energi Bersih Indonesia. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM), 2023.
Riski Saputra dan Timotius Rafael. Dari Captive ke Grid Hijau: Peran Industri Nikel dalam Dekarbonisasi Sistem Kelistrikan Sulawesi. Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dan Rosa-Luxemburg-Stiftung, 2023.
Sartika Nur Shalati dan Sholahudin Al Ayubi. Hilirisasi Nikel, Sudahkah Sejalan dengan Transisi Energi?. Yayasan Indonesia Cerah, 2024.
Sholahudin Al Ayubi. ESG Nickel Indonesia: Green Narratives, Gray Practice. Yayasan Indonesia Cerah, 2023.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Internet
Achmad Ghiiffary Mannan. “Nikel: Proyeksi Produksi, Konsumsi dan Harga 2025”. Tempo, 2025.
Aditya Putra Perdana. “Hilirisasi Butuh Industrialisasi demi Cegah Maslahat Nikel ‘Lari’”. Kompas, 2025.
Azura Yumna Ramadani Purnama. “Bahlil Sebut Pemberian Blok Tambang ke AS Masih Pembicaraan Awal”. Bloomberg Technoz, 2025.
Dicky Kurniawan MP. “Ketika Indonesia Menjadi Produsen Nikel Terbesar di Pasar Global”. Tempo, 2025.
Firda Dwi Muliawati. “Tambang Nikel di Raja Ampat Sudah Beroperasi Lagi, Ini Pemiliknya”. CNBC Indonesia, 2025.
Irfan Maulana, Riza Salman. “Amerika Serikat Tertarik Mineral Kritis, Berbagai Kalangan Ingatkan Risiko”. Mongabay Indonesia, 2025.
Mis Fransiska Dewi. “ESDM: Hilirisasi Nikel RI Tak Tersaingi, 5 Tahun Bikin 50 Smelter”. Indonesian Mining Association (IMA), 2024.
Revo M. “Cadangan Nikel Terbesar Dunia Ada di RI, Tapi Raja Baterai Milik China”. CNBC Indonesia, 2025.
Sawqi Saad El Hasani. “Hilirisasi Nikel di Raja Ampat dan Dampak Global”. Kompas, 2025.
Walhi Sulawesi Tengah. “Ambisi Hilirisasi Nikel dan Masifnya Penggunaan Energi Fosil Batubara di Sulawesi Tengah”. Walhi Sulawesi Tengah, 2025.