Setiap lima tahun sekali, negara-negara di dunia diminta untuk menyerahkan dokumen kebijakan iklim nasional bernama Nationally Determined Contribution atau NDC. Kesepakatan ini dimulai sejak disahkannya Paris Agreement atau Perjanjian Paris oleh 196 negara pada tahun 2015.
Lalu, apa itu NDC? NDC adalah dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara untuk mengurangi emisi serta menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim. Nationally Determined Contribution juga merupakan jantung dari Paris Agreement dan menjadi kunci utama pencapaian target iklim global dalam jangka panjang.
Perjanjian Paris memiliki tujuan utama untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dan idealnya tidak melebihi 1,5°C pada akhir abad ke-21. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, setiap negara wajib menetapkan komitmen nasional yang spesifik dan terukur, itulah yang dikenal sebagai NDC.
Meski tenggat penyampaian Second Nationally Determined Contribution (SNDC) telah lewat pada 30 September 2025, Indonesia hingga kini belum melakukan penyerahan resmi ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan masih dalam proses finalisasi dokumen. Banyak pihak berharap SNDC akan membawa ambisi yang lebih kuat, strategi yang lebih realistis, serta rencana implementasi yang lebih transparan. Namun, berbagai laporan termasuk dari Climate Action Tracker menilai target NDC Indonesia saat ini masih tergolong “critically insufficient” untuk menjaga suhu global di bawah 1,5°C.
Di tengah kondisi bumi yang semakin memperlihatkan tanda-tanda krisis iklim, setiap negara dituntut memiliki peta jalan yang jelas untuk menghambat dampak terburuknya. Di sinilah Nationally Determined Contribution (NDC) memainkan peran penting, menjadi panduan bagi setiap negara untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan.
NDC: Ambisi Iklim atau Sekadar Formalitas Diplomatik?
Perjalanan NDC Indonesia dimulai pada tahun 2016 dengan target penurunan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri (unconditional) dan 41% dengan dukungan internasional (conditional). Namun, saat itu Indonesia belum memiliki strategi jangka panjang yang kuat untuk mencapai target tersebut.
Pada tahun 2021, target tersebut dipertahankan, namun diperkuat dengan hadirnya dokumen Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) 2050, yang mulai menekankan pentingnya pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari arah kebijakan iklim nasional.
Pembaruan berikutnya datang pada tahun 2022, ketika Indonesia meluncurkan Enhanced NDC dengan ambisi yang lebih tinggi: penurunan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan dukungan internasional. Dokumen ini juga menegaskan peran energi bersih dan pembangunan berkelanjutan sebagai pilar utama pencapaian target iklim.
Meski NDC Indonesia telah diperbarui sebanyak tiga kali, banyak pengamat menilai target-target ini masih lebih mencerminkan kewajiban diplomatik ketimbang komitmen nyata. Inkonsistensi masih terlihat antara janji dalam dokumen NDC dan kebijakan faktual di lapangan, seperti pemberian izin tambang batu bara atau lambatnya ekspansi energi terbarukan.
Target Emisi Indonesia: Realistis atau Mustahil?
Indonesia telah menetapkan target nasional untuk mencapai nol emisi (net zero emission) pada tahun 2060. Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB (23 September 2025), Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement, bahkan menyampaikan optimisme bahwa target nol emisi bisa dicapai lebih cepat.
Presiden juga menyampaikan beberapa janji penting: penghentian penggunaan batu bara dalam 15 tahun ke depan di KTT G20 Brasil pada November 2024 dan komitmen menuju 100% energi terbarukan dalam satu dekade pada kunjungan kenegaraan ke Brasil pada Juli 2025.
Namun, ambisi ini menimbulkan pertanyaan besar. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, Indonesia masih berencana membangun 16,6 gigawatt (GW) energi berbasis fosil baru. Ketidaksinkronan antara kebijakan energi nasional dan target NDC menimbulkan keraguan terhadap realisme komitmen iklim Indonesia.
Sektor energi dan kehutanan hingga kini masih menjadi dua sumber utama emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sekitar sepertiga emisi nasional berasal dari pembakaran batu bara untuk listrik dan industri, sementara deforestasi serta degradasi hutan terus menyumbang emisi besar dari sektor penggunaan lahan.
Ketergantungan tinggi terhadap energi fosil, terutama batu bara, masih menjadi tantangan utama dalam upaya mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Batu bara masih menjadi sumber energi dominan, tidak hanya untuk pembangkit listrik nasional, tetapi juga untuk kebutuhan captive power di sektor industri seperti nikel. Artinya, meski permintaan ekspor batu bara sempat menurun di paruh pertama tahun 2025, konsumsi domestik justru tetap tinggi, menandakan bahwa ketergantungan ini bukan semata karena pasar global, melainkan karena struktur energi nasional yang masih bertumpu pada fosil.
Tanpa kebijakan tegas untuk menghentikan ekspansi PLTU baru, membatasi praktik yang semu, serta mempercepat investasi energi terbarukan seperti surya dan angin, target ambisius dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia berisiko menjadi sekadar angka di atas kertas. Lebih jauh, komitmen iklim Indonesia di panggung global pun bisa dipandang hanya sebagai formalitas, bukan bukti nyata kepemimpinan dalam transisi energi berkelanjutan.
Hambatan Politik & Ekonomi di Balik Pencapaian NDC
Untuk mencapai target ambisius dalam NDC Indonesia, pemerintah harus menghadapi tantangan besar yang tidak hanya teknis, tetapi juga politis dan ekonomi.
Kepentingan industri fosil masih sangat kuat, terutama di sektor batu bara yang selama ini menjadi tulang punggung pasokan energi nasional dan sumber utama pendapatan daerah. Meski pemerintah mulai gencar berbicara tentang transisi energi, subsidi untuk energi fosil masih jauh lebih besar dibandingkan investasi energi bersih. Pada 2023, misalnya, subsidi energi fosil tercatat lebih dari Rp500 triliun, sedangkan dukungan untuk energi terbarukan hanya sebagian kecil dari jumlah itu.
Dari sisi investasi, proyek-proyek energi bersih seperti pembangkit tenaga surya, angin, dan biomassa sering kali terhambat oleh perizinan yang rumit, infrastruktur yang belum memadai, serta ketidakpastian harga jual listrik. Investor asing pun cenderung menunggu kepastian regulasi sebelum menanamkan modalnya di sektor ini.
Selain faktor politik dan ekonomi, minimnya partisipasi publik juga menjadi hambatan serius dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC). Proses penyusunan NDC Indonesia dinilai masih terlalu tertutup dan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat sipil, akademisi, maupun komunitas lokal yang terdampak langsung oleh kebijakan iklim.
Padahal, keberhasilan NDC sangat bergantung pada kolaborasi lintas pihak. Pemerintah perlu menggandeng organisasi masyarakat, universitas, sektor swasta, dan komunitas akar rumput untuk memastikan bahwa rencana aksi iklim benar-benar inklusif, transparan, dan berkeadilan.
Tekanan publik, baik dari masyarakat sipil maupun komunitas internasional, menjadi faktor penting agar NDC Indonesia tidak berhenti sebagai janji diplomatik, tetapi benar-benar diwujudkan melalui percepatan transisi energi dan implementasi komitmen iklim nasional secara nyata.




