Sudahkah Rencana Ketenagalistrikan Indonesia Selaras dengan Komitmen Paris Agreement?

29 September 2025

-

Graciella Stevani Gulo

Sudahkah RUPTL Indonesia Selaras dengan Perjanjian Paris?

Tulisan karya Graciella Stevani Gulo ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.

 

Pendahuluan 

Isu perubahan iklim saat ini menjadi perhatian global karena dampaknya yang semakin nyata terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. World Meteorological Organization mencatat bahwa tahun 2023 merupakan tahun terpanas dalam sejarah dimana rata-rata suhu global telah mencapai 1,45 derajat C (±0,12°C) di atas rata-rata pra-industri. Kenaikan suhu ini terutama dipicu oleh peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Data menunjukkan tren emisi Indonesia yang terus meningkat, di mana total emisi pada 2023 mencapai 674,5 MtCO2eq, naik dari 656,7 MtCO2eq pada 2022 (World Bank, 2025). 

Gambar 1. Total Emisi CO2 Indonesia tahun 2018-2023 

(Sumber: World Bank, 2025)

 

Sektor energi merupakan salah satu penyumbang utama emisi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) (2025) menunjukkan bahwa emisi dari sektor ini mengalami tren yang terus meningkat, dengan total emisi pada 2024 mencapai 790.566 GtCO2eq, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. Kenaikan tersebut terutama dipengaruhi oleh sektor ketenagalistrikan, khususnya pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil (Purnomo et al., 2023). 

Gambar 2. Total Emisi Sektor Energi tahun 2018-2024

(Sumber: Kementerian ESDM, 2025)

 

Sebagai wujud komitmen internasional, Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Perjanjian ini menekankan pentingnya menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi agar tidak melebihi 1,5°C. Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 dan mengintegrasikannya ke dalam rencana pembangunan nasional, termasuk perencanaan penyediaan ketenagalistrikan. 

Pada 2021, melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia mulai mengarahkan kebijakan energi menuju transisi bersih. Setahun kemudian, pada forum G20 2022, Indonesia meluncurkan dua inisiatif transisi energi, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Melalui kerja sama JETP, ditargetkan puncak emisi sektor ketenagalistrikan tercapai pada 2030 dengan batas maksimal 290 MtCO₂eq, pangsa energi terbarukan meningkat hingga 44% pada 2030, serta tercapainya NZE di sektor ketenagalistrikan pada 2050 (PLN, 2025).

Namun demikian, penyediaan listrik nasional masih didominasi energi fosil, dengan batubara menyumbang 40,5% dari bauran energi pada 2023. Sementara itu, kontribusi EBT baru mencapai 13,1%, jauh di bawah target pemerintah sebesar 17,9% (Yustika, 2024).

Meskipun komitmen kebijakan telah ditetapkan, capaian energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih jauh dari target sehingga kebijakan yang konsisten serta pengawasan yang transparan dan partisipatif menjadi penting untuk mewujudkan transisi energi bersih menuju Net Zero Emission tahun 2060. Artikel ini menguraikan arah kebijakan transisi energi terbarukan di Indonesia, meninjau sejauh mana implementasi telah berjalan, serta memberikan rekomendasi untuk mendukung pencapaian target Net Zero Emission pada tahun 2060. 



Kebijakan dan Realisasi Bauran Energi Terbarukan di Indonesia

Sebagai bentuk komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement, Indonesia mengeluarkan dokumen LTS-LCCR 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience Indonesia) yang memuat tujuan jangka panjang Indonesia dalam meuwjudkan NZE 2050 (LTS-LCCR, 2021). Dalam jangka pendek, Indonesia mengeluarkan dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) yang memuat target penurunan emisi pada tahun 2030 di lima sektor yaitu energi, kehutanan, pertanian, limbah dan industri (NDC, 2022). 

Pada tahun 2030, emisi dari sektor energi diperkirakan akan mencapai 1,669 MtCO2eq. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 12,5% tanpa dukungan internasional, dan dapat ditingkatkan menjadi 15,5% dengan bantuan internasional. Komitmen ini selanjutnya juga diperkuat dengan beberapa regulasi mengenai energi dan ketenagalistrikan sebagaimana terangkum dalam Gambar 3.

 

Gambar 3. Peraturan tentang Sektor Energi dan Ketenagalistrikan di Indonesia 

(Sumber: Yustika, 2024 yang diolah kembali)

 

Sejak RUPTL 2019-2028, Energi Baru Terbarukan (EBT) mulai ditempatkan menjadi prioritas dalam bauran energi untuk mendukung transisi energi bersih. Hal ini kemudian terus berlanjut dengan target EBT yang lebh besar dalam RUPTL berikutnya. Dalam RUPTL 2025-2034, target penambahan kapasitas pembangkit listrik adalah ± 69,5 GW dengan porsi EBT sebesar ± 52,9 GW (76%). Angka ini jauh lebih besar dibandingkan target RUPTL 2021-2030 dimana porsi EBT adalah sebesar ± 20,9 GW (52%) untuk tambahan kapasitas pembangkit sebesar ± 40,6 GW. 

Peningkatan porsi EBT dalam target bauran energi nasional ini tentunya sangat baik. Namun, hal ini cukup sulit untuk dipenuhi mengingat capaian EBT sesuai RUPTL masih jauh dari target. Bahkan, laju penambahan pembangkit listrik energi fosil jauh lebih tinggi. 

Dalam RUPTL 2021-2030, target instalasi pembangkit listrik baru adalah ± 40,6 GW, dengan porsi EBT sebesar 52% (± 20,9 GW), porsi batu bara sebesar 34% (± 13,9 GW) dan gas lainnya sebesar 14% (± 5,9 GW) (PLN, 2021). Namun, pada tahun 2024, instalasi pembangkit listrik berbahan dasar batu bara justru lebih besar yaitu mencapai 85% (± 86 GW) sedangkan EBT hanya sebesar 15% (± 15,1 GW) (Kementerian ESDM, 2025). Gambar 4 memperlihatkan target dan realisasi bauran EBT tahun 2018-2023. 

 

Gambar 4 Target dan Realisasi EBT Tahun 2012-2023 

(Sumber: Kementerian ESDM, 2024)

 

Global Energy Monitor (2024) mencatat bahwa pada 2024 Indonesia hanya menambahkan 0,6 GW tenaga surya dari total potensi 3.294 GW, serta memanfaatkan 0,2 GW tenaga angin dari potensi 155 GW. Total capaian ini tercatat sebagai yang terendah di Asia Tenggara, jika dibandingkan dengan total capaian Vietnam sebesar 19,5 GW pada pemanfaatan tenaga surya dan angin.

Inkonsistensi Kebijakan

Kegagalan pemerintah mencapai target bauran EBT yang telah ditetapkan dapat disebabkan oleh inkonsistensi dalam regulasi. Di satu sisi, pemerintah menunjukkan komitmen melalui berbagai kebijakan transisi energi. Namun di sisi lain, regulasi yang berubah-ubah justru memperlihatkan adanya kompromi terhadap kepentingan pembangunan berbasis fosil. Hal ini tampak, misalnya, pada keputusan terkait moratorium pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Pada 2021, pemerintah Indonesia menetapkan moratorium pembangunan PLTU. Semula tenggat pembangunan pembangkit baru ditargetkan berakhir pada 2023, namun kemudian diperpanjang hingga 2025 agar pemerintah dapat menuntaskan megaproyek 35.000 MW yang masih berjalan.

Moratorium tersebut sejalan dengan komitmen Paris Agreement. Namun, ambiguitas muncul dalam RUPTL 2025–2034 karena pemerintah masih merencanakan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi fosil sebesar 16.687 MW. Selain itu, Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pasal 3 ayat 4, tetap membuka peluang pembangunan PLTU baru untuk pembangkit captive yang terintegrasi dengan industri atau tercantum dalam Proyek Strategis Nasional. Pembangunan tersebut diperbolehkan selama berkomitmen mengurangi emisi GRK minimal 35% dalam 10 tahun sejak beroperasi, dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU Indonesia pada 2021, melalui pengembangan teknologi, penyeimbangan karbon, dan bauran energi terbarukan, serta beroperasi paling lama hingga 2050. Pengecualian ini berpotensi menjadi celah yang memungkinkan keberlanjutan pembangunan PLTU, bahkan untuk unit berkapasitas kecil yang mungkin sebenarnya kurang ekonomis.

Selain target pembangunan PLTU yang masih belum sejalan dengan Paris Agreement, RUPTL 2025-2034 juga menunjukkan upaya pemerintah memperpanjang umur teknis dan ekonomis PLTU batubara melalui retrofitting, yakni dengan mengganti sebagian bahan bakar batubara menjadi biomassa atau amonia. Strategi lain yang ditawarkan antara lain pemanfaatan gas fosil, co-firing biomassa, serta teknologi carbon capture, usage, and storage (CCUS). Meskipun langkah-langkah ini berpotensi memberikan manfaat, pemerintah perlu memastikan bahwa strategi tersebut bukan sekadar solusi semu yang justru berisiko meningkatkan emisi CO₂.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kebijakan co-firing biomassa di PLTU batubara masih menyisakan banyak persoalan. Picciano et al. (2022) menilai bahwa praktik ini tidak efektif untuk mendorong dekarbonisasi, bahkan berpotensi menunda pensiunnya PLTU serta memperlambat transisi energi terbarukan. Lebih lanjut, pembakaran biomassa dapat meningkatkan emisi partikel halus (PM10, PM2.5, dan PM1) dengan ketidakpastian yang tinggi, sehingga berisiko menambah beban pencemaran udara (Triani et al., 2022). Sumber daya biomassa yang berasal dari non-limbah (ditanam khusus di perkebunan) juga berpotensi meningkatkan emisi disektor lain akibat alih fungsi lahan (Squire et al., 2024). 

Dari sisi potensi lingkungan, Wang et al. (2025) menunjukkan bahwa co-firing biomassa 5–20% memang dapat menurunkan emisi CO₂ secara signifikan, bahkan mencapai emisi negatif jika dikombinasikan dengan teknologi penangkapan karbon. Namun, strategi ini meningkatkan biaya pembangkitan sebesar 5,4–97,3% akibat penetapan harga biomassa dan biaya retrofit penangkapan karbon, sehingga menimbulkan tantangan ekonomi. 

Selain co-firing biomassa, pemerintah juga mendorong penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS). Namun, sejumlah kajian menunjukkan keterbatasannya. Meskipun CCUS layak secara teknologi dengan tingkat penangkapan CO₂ tinggi, tantangan biaya modal, skala kecil, serta risiko lingkungan seperti kebocoran tetap signifikan (Memon et al., 2024; Guo et al., 2022). Bahkan, penggunaan CCUS dinilai lebih berfungsi sebagai strategi greenwashing daripada solusi nyata menuju keberlanjutan (Taraki et al., 2024).

 

Rekomendasi 

Meskipun komitmen kebijakan telah ditetapkan, capaian energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih jauh dari target. RUPTL 2025–2034 akan menjadi penentu arah transisi energi Indonesia. Agar sejalan dengan Paris Agreement dan target NZE, implementasinya sebaiknya  konsisten, bukan sekadar janji di atas kertas. Tantangannya jelas: mempercepat investasi EBT, mengurangi ketergantungan batubara, dan membuka ruang partisipasi publik dalam transisi energi. Oleh karena itu, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk memastikan transisi energi bersih yang berkelanjutan adalah sebagai berikut. 

  1. Konsistensi Kebijakan dan Regulasi 

Rencana penyediaan listrik perlu sejalan dengan komitmen Indonesia pada Paris Agreement dan target NZE 2060. Karena itu, RUPTL perlu menegaskan apakah sisa target PLTU berasal dari proyek lama, bukan pembangunan baru. Percepatan pensiun dini PLTU perlu masuk agenda, termasuk pembatasan PLTU captive, agar moratorium batubara 2025 benar-benar konsisten. Jika masih ada PLTU yang beroperasi setelah 2025, maka Indonesia berisiko terkunci pada batubara hingga 25–35 tahun ke depan.

  1. Memprioritaskan Peningkatan Bautran EBT 

RUPTL 2025–2034 perlu menempatkan peningkatan bauran energi terbarukan sebagai prioritas utama. Strategi co-firing biomassa memang dapat menekan emisi, namun berisiko memperpanjang umur operasional PLTU sehingga berlawanan dengan semangat transisi energi. Karena itu, akselerasi pengembangan pembangkit berbasis tenaga surya, angin, serta teknologi penyimpanan energi perlu didorong secara lebih agresif. Langkah ini tidak hanya mendukung pencapaian target bauran EBT nasional, tetapi juga memperkuat inisiatif transisi energi internasional seperti JETP yang menekankan dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Indonesia.

  1. Partisipasi Publik & Transparansi

Implementasi RUPTL 2025–2034 perlu melibatkan masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dalam proses pemantauan agar lebih akuntabel. Pemerintah dan PLN juga perlu secara berkala mempublikasikan data terkait realisasi bauran energi, status COD (Commercial Operation Date) proyek EBT, serta progres pensiun dini PLTU. Selain itu, partisipasi publik dapat diperluas melalui pengembangan energi terbarukan skala kecil seperti PLTS atap dan desa energi mandiri, sehingga transisi energi tidak hanya menjadi agenda negara, tetapi juga gerakan bersama. 






Referensi 

Dokumen Enhanced NDC Indonesia. (2022). 

Dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience Indonesia (LTS-LCCR). (2021). 

Dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) tahun 2025-2034. 

Guo, H., Lyu, X., Meng, E., Xu, Y., Zhang, M., Fu, H., ... & Song, K. (2022, April). CCUS in China: challenges and opportunities. In SPE Improved Oil Recovery Conference? (p. D031S031R002). SPE.

Kementerian ESDM. (2024). Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: Kementerian ESDM. 

Kementerian ESDM. (2025). Konferensi Pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2024. https://esdm.go.id/assets/media/file/file-capaian-kinerja-sektor-esdm-tahun-2024.pdf 

KLHK. 2020. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2020. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. 

Memon, S. U. R., Manzoor, R., Fatima, A., Javed, F., Zainab, A., Ali, L., & Ullah, Q. (2024). A comprehensive review of Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS): technological advances, environmental impact, and economic feasibility. Sch Acad J Biosci, 7, 184-204.

Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Perecepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

Picciano, P., Aguilar, F. X., Burtraw, D., & Mirzaee, A. (2022). Environmental and socio-economic implications of woody biomass co-firing at coal-fired power plants. Resource and Energy Economics, 68, 101296.

PLN. (2025). Diseminasi RUPTL 2021-2030. 

PLN. (2025). Just Energy Transition Partnership (JETP), https://web.pln.co.id/pln-jetp/jetp-home

Purnomo, A. P. P., Giriantari, I. A. D., & Kumara, I. N. S. (2023). Studi Pengurangan Emisi Karbon Sistem Ketenagalistrikan Provinsi Bali: Analisis RUPTL 2021-2030. Jurnal SPEKTRUM Vol, 10(3).

Squire, C. V., Lou, J., & Hilde, T. C. (2024). The viability of co-firing biomass waste to mitigate coal plant emissions in Indonesia. Communications Earth & Environment, 5(1), 423.

Taraki, M. D., Imawan, R., & Zuliansyah, Z. (2024). Sustainability or False Solution? A Critical View of Carbon Capture, Utilization, and Storage (Ccus) and the Future of Its Implementation in INDONESIA. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Fajar, 2(2), 1-15.

Triani, M., Tanbar, F., Cahyo, N., Sitanggang, R., Sumiarsa, D., & Utama, G. L. (2022). The The Potential Implementation of Biomass Co-firing with Coal in Power Plant on Emission and Economic Aspects: A Review. EKSAKTA: Journal of Sciences and Data Analysis.

Wang, H., Yan, Y., Li, Z., Cao, Z., Fu, Y., Zhou, Z., & Zhao, D. (2025). Carbon mitigation potential and economic benefits of biomass co-firing in coal-fired power plants: A case study in Nanjing, China. Energy, 314, 134262.

Yustika, Mutya. (2024). Pathways to Financial Sustainability for PLN through Renewable Energy Development. Institute for Energy Economics and Financial Analysis. 

Yustika, Mutya. (2024). Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential. Institute for Energy Economics and Financial Analysis. 

 

Artikel Terkait

Keahlian untuk Karier Masa Depan Anak Muda

Keahlian untuk Karier Masa Depan Anak Muda

06 September 2021

footer yayasan