Ambisi 100 GW PLTS yang dicanangkan Presiden Prabowo menandai salah satu lompatan terbesar dalam sejarah transisi energi Indonesia. Dari total target tersebut, 80 GW direncanakan dibangun melalui Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dengan asumsi 1 MW PLTS per desa untuk 80.000 desa. Program ini diharapkan menjadi tulang punggung swasembada energi, membuka akses listrik murah, menekan biaya usaha desa, serta mendorong produktivitas pertanian, perikanan, dan UMKM melalui energi surya yang bersih dan terjangkau.
Namun, skala ambisi ini berhadapan dengan tantangan fundamental. Biaya pembangunan 1 MW PLTS masih berkisar USD 900 ribu (Rp 14,6 miliar), masih jauh melampaui kapasitas fiskal desa. Sementara mekanisme pembiayaan melalui KDMP hanya menyediakan plafon pinjaman sekitar Rp 3 miliar, dan tanpa PPA atau model pendapatan yang jelas, proyek sulit dinilai bankable oleh perbankan. Di sisi lain, pengalaman dari ratusan PLTS komunal dan program Patriot Energi menunjukkan bahwa risiko terbesar bukan pada teknologinya, tetapi pada tata kelola, pemeliharaan, dan ketiadaan dana cadangan yang membuat banyak PLTS mangkrak ketika dalam kurun waktu 3–7 tahun pada masa lifespan baterai habis/rusak, serta minimnya manajemen teknis di tingkat desa.
Oleh karena itu, pembangunan PLTS desa melalui KDMP ini membutuhkan desain ulang model proyek. Analisis ini menunjukkan bahwa keberhasilan program sangat bergantung pada empat fondasi utama: model operasi profesional seperti Energy-as-a-Service (EaaS), bundling proyek untuk menarik pembiayaan, pembentukan dana cadangan nasional O&M, serta tarif listrik desa dan skema PPA yang terstandar. Dengan pendekatan seperti ini, program 100 GW PLTS tidak hanya dapat diwujudkan, tetapi juga berpotensi menjadikan Indonesia pemimpin energi surya berbasis komunitas terbesar di Asia Tenggara.




