Nikel untuk Dunia, Polusi untuk Rakyat: Ketika Transisi Energi Mengkhianati Keadilan

29 September 2025

-

Lindan Malik

Nikel untuk Dunia, Polusi untuk Rakyat

Tulisan karya Lindan Malik ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.

 

Abstrak

Transisi energi global menempatkan nikel sebagai mineral krusial, dengan Indonesia menguasai 55% cadangan dunia. Kebijakan hilirisasi nikel, meskipun diklaim sebagai perwujudan kedaulatan ekonomi, justru mengkhianati keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis, menciptakan paradoks "Polusi untuk Rakyat". Penelitian ini menganalisis implementasi hilirisasi nikel yang tidak selaras dengan Pasal 33 UUD NRI 1945. Temuan menunjukkan bahwa negara cenderung menyerahkan pengelolaan kepada pihak swasta (80% dominasi asing), mengabaikan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dampak lingkungan sangat masif: deforestasi 723 ribu hektar di Sulawesi Tengah, pencemaran sedimen nikel (3,392–34,08 mgkg−1 di Konawe Utara, melebihi ambang batas US EPA), dan kerusakan ekosistem laut. Paradoks transisi energi semakin nyata dengan ketergantungan smelter pada PLTU batu bara, yang menyebabkan peningkatan kasus ISPA di Morowali. Secara sosial-ekonomi, hilirisasi nikel meminggirkan masyarakat lokal (nelayan dan petani), menyebabkan kehilangan mata pencarian, kriminalisasi, dan kerusakan tatanan gender. Lonjakan ekspor nikel (dari USD 4 miliar menjadi USD 34 miliar) tidak diiringi kesejahteraan masyarakat lokal; kemiskinan justru meningkat.

Untuk mengembalikan keadilan, diperlukan rekonstruksi kebijakan dan tata kelola: (1) revisi UU Pertambangan untuk mengaktualisasikan Pasal 33 UUD 1945, termasuk penegakan sanksi tegas; (2) optimalisasi peran BUMN dalam pengelolaan hilirisasi nikel untuk kepentingan nasional; dan (3) komitmen nyata transisi energi berkeadilan dengan mengalihkan sumber energi smelter dari batu bara ke energi terbarukan. Dengan langkah ini, hilirisasi nikel dapat menjadi wujud kedaulatan negara yang berpihak pada kemakmuran rakyat dan keberlanjutan alam.

 

Kata Kunci: Nikel, Hilirisasi, Transisi Energi, Keadilan Lingkungan, Keadilan Sosial, Konstitusi Ekonomi.

 

  1. Pendahuluan 

Di tengah krisis iklim global, transisi dari energi fosil ke energi terbarukan menjadi imperatif bagi keberlanjutan planet. Dalam narasi besar ini, nikel muncul sebagai "modal" strategis yang krusial. Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, memegang peran sentral dalam rantai pasok industri baterai kendaraan listrik dan teknologi rendah karbon lainnya. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA) dan United States Geological Survey (USGS), Indonesia menguasai sekitar 55% cadangan nikel global, sebuah potensi yang tak tertandingi.

Kebijakan hilirisasi nikel, yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dipromosikan sebagai manifestasi kedaulatan negara atas sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik janji-janji ekonomi yang gemilang ini, sebuah kontradiksi yang mendalam muncul. Laporan ini berargumen bahwa narasi "Nikel untuk Dunia" telah mengkhianati keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis, menciptakan realitas "Polusi untuk Rakyat." Tesis sentralnya adalah bahwa transisi energi ini, alih-alih membawa kemakmuran merata, justru mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan, terutama di wilayah Sulawesi yang menjadi episentrum pertambangan nikel, demi keuntungan ekonomi jangka pendek yang terdistribusi secara tidak adil.

  1. Pembahasan

 

  1. Analisis Konstitusi Ekonomi Pasal 33 UUD NRI 1945

Dasar konstitusional dari setiap kebijakan ekonomi di Indonesia, termasuk hilirisasi nikel, termaktub dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal ini mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsep "dikuasai oleh negara," sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi, mencakup lima fungsi: kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Meskipun hilirisasi nikel diposisikan sebagai perwujudan kedaulatan negara, implementasinya menunjukkan kesenjangan yang signifikan dengan amanat konstitusional. Realitas di lapangan memperlihatkan bahwa negara cenderung menyerahkan fungsi pengelolaan kepada pihak swasta, dengan dominasi perusahaan asing mencapai sekitar 80%. Kondisi ini menunjukkan kegagalan negara dalam mengaktualisasikan "hak menguasai negara" secara substansial. Selain itu, kebijakan hilirisasi nikel juga cenderung mengabaikan prinsip-prinsip konstitusi ekonomi lainnya yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (4), yaitu "berkelanjutan" dan "berwawasan lingkungan".

Terdapat inkonsistensi yang jelas antara tujuan normatif hilirisasi dan praktiknya. Narasi pemerintah mendorong hilirisasi sebagai langkah progresif untuk meningkatkan nilai ekonomi nikel dan mendukung transisi energi global. Namun, alih-alih menerapkan model ekonomi yang berkelanjutan, implementasi di lapangan justru mengarah pada eksploitasi yang murni ekstraktif dan kapitalistik. Hal ini terlihat dari masifnya pembangunan smelter yang mengabaikan aspek lingkungan dan sosial, yang secara langsung bertentangan dengan amanat konstitusi untuk mewujudkan kemakmuran rakyat secara adil dan merata.

Laporan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menunjukkan skala masif dari ekspansi ini di Sulawesi. Hingga akhir 2021, tercatat ada 295 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di tiga provinsi di Sulawesi, yang menguasai total lahan seluas 690.442 hektar. Skala perizinan yang begitu besar ini mencerminkan orientasi yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan biaya ekologis dan sosial yang ditanggung oleh masyarakat dan lingkungan.

  1. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan dari ekspansi pertambangan nikel di Sulawesi tidak lagi dapat disangkal. Deforestasi yang masif dan pencemaran yang meluas menjadi bukti nyata pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.

  1. Deforestasi sebagai Harga Transisi Energi

Ekspansi industri nikel telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, mengancam ekosistem hutan hujan tropis yang merupakan salah satu paru-paru dunia. Laporan WALHI menyebutkan bahwa perusahaan tambang nikel telah menguasai 639.403,26 hektar lahan konsesi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Data spesifik menunjukkan bahwa deforestasi di Sulawesi Tengah, salah satunya akibat pertambangan nikel, mencapai 723 ribu hektar. Di konsesi PT Vale Indonesia di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, terjadi deforestasi seluas 4.449,22 hektar antara tahun 2016 dan 2020.

Kerusakan hutan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan habitat satwa endemik, tetapi juga memicu bencana ekologis yang berdampak langsung pada masyarakat. Laporan dari Yayasan Indonesia Cerah menyebutkan bahwa banjir dan tanah longsor di Morowali, Sulawesi Tengah, disebabkan oleh kerusakan lingkungan dan deforestasi akibat eksploitasi tambang. Di Luwu Timur, masyarakat Desa Tole menyaksikan langsung pendangkalan Danau Mahalona, salah satu danau purba di Sulawesi, akibat sedimentasi lumpur bekas tambang yang masuk saat hujan lebat atau ketika perusahaan membuka pintu bendungan. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa perusakan di hulu (pegunungan) berimbas sistemik pada ekosistem di hilir, termasuk danau dan sungai.

  1. Bukti Konkret Pengabaian Lingkungan

Dampak pencemaran limbah nikel tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga meluas ke ekosistem laut dan pesisir. Penelitian ilmiah menunjukkan bukti konkret dari kerusakan ini.

Tabel 1. Konsentrasi Logam Berat Nikel (Ni) pada Sedimen di Pesisir Konawe Utara

Stasiun

Konsentrasi Ni (mgkg−1)

Kualitas Sedimen (US EPA)

Status Geoakumulasi (Igeo)

1

34,08

Cukup tercemar

Tercemar sedang hingga berat

2

28,084

Cukup tercemar

Tercemar sedang hingga berat

3

26,514

Cukup tercemar

Tercemar sedang hingga berat

4

24,469

Cukup tercemar

Tercemar sedang hingga berat

5

17,393

Tidak tercemar

Tercemar sedang hingga berat

6

6,961

Tidak tercemar

Tercemar sedang hingga berat

7

5,564

Tidak tercemar

Tercemar sedang hingga berat

8

3,392

Tidak tercemar

Tercemar sedang

Berdasarkan penelitian di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, konsentrasi logam berat nikel dalam sedimen berkisar antara 3,392 hingga 34,08 mgkg−1, melampaui ambang batas 20 mgkg−1 yang ditetapkan oleh US EPA-2004. Nilai ini mengategorikan sedimen di area tersebut sebagai "cukup tercemar" dan bahkan "tercemar sedang hingga berat" berdasarkan indeks geoakumulasi. Analisis menunjukkan pola sebaran yang linear: konsentrasi nikel tertinggi ditemukan di dekat jetty aktif yang digunakan untuk bongkar muat material tambang, dan menurun seiring jarak menjauhi lokasi tersebut.

Selain pencemaran nikel, laporan lain juga mencatat kerusakan ekosistem yang lebih luas. Tingkat Biological Oxygen Demand (BOD) di sekitar PLTU Konawe mencapai 67 mg/l, jauh melampaui batas ambang yang diizinkan. Di Lasolo Kepulauan, persentase terumbu karang hidup (life coral) dilaporkan sangat rendah, hanya berkisar antara 13% hingga 18.4%, sebuah kondisi yang dikategorikan "buruk" oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati laut, tetapi juga merusak habitat biota laut dan sumber mata pencaharian utama masyarakat pesisir.

  1. Transisi Energi yang Tercemar

Salah satu kontradiksi terbesar dalam narasi "transisi energi hijau" adalah ketergantungan industri smelter nikel pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Hal ini bertolak belakang dengan komitmen internasional Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap.

Sebagai contoh, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah mengoperasikan 6 unit PLTU untuk memasok energi ke smelter. Laporan resmi IMIP pada tahun 2017 mencatat konsumsi batu bara yang sangat besar, mencapai jutaan ton per tahun, yang terus meningkat sejalan dengan ekspansi pabrik. Ketergantungan pada energi fosil ini tidak hanya mengancam target iklim nasional, tetapi juga membawa dampak kesehatan langsung bagi masyarakat sekitar. Data dari Puskesmas Bahodopi di Morowali, tempat IMIP beroperasi, menunjukkan bahwa 52% dari pasien yang berobat menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), sebuah kondisi yang diduga kuat disebabkan oleh polusi debu dan asap batu bara. Paradoks ini memperlihatkan bahwa "transisi energi" yang diklaim pemerintah seolah hanya mengalihkan beban polusi dari negara-negara maju (konsumen kendaraan listrik) ke masyarakat lokal di negara produsen nikel, sebuah pengkhianatan nyata terhadap prinsip keadilan ekologis.

 

3. Penderitaan Masyarakat Lokal

Dampak hilirisasi nikel jauh melampaui kerusakan lingkungan, merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat yang telah ada selama bergenerasi.

  1. Hilangnya Mata Pencaharian dan Kriminalisasi

 

Masyarakat lokal, terutama nelayan dan petani, adalah pihak pertama yang menanggung beban kerugian. Laporan dari WALHI di Sulawesi Tengah merekam kesaksian nelayan di Desa Lafeu, Torete, dan Labota yang mengeluhkan tangkapan ikan yang menurun drastis sejak aktivitas pertambangan dan smelter dimulai. Mereka kini harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan atau terpaksa beralih profesi menjadi buruh tambang. Di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, komunitas Bajo yang hidupnya bergantung pada laut telah kehilangan akses terhadap ekosistem yang menjadi sumber mata pencarian mereka, seperti perikanan dan budidaya rumput laut.

Fenomena ini diperparah dengan ancaman dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek tambang. Laporan menyebutkan bahwa protes warga di Bantaeng dan Morowali menghadapi respons keras, yang berujung pada kriminalisasi dan pemutusan hubungan kerja sepihak. Kehilangan mata pencarian dan tekanan sosial ini menciptakan ketidakstabilan dan polarisasi di tengah masyarakat.

  1. Ketidaksetaraan Gender dan Kerusakan Budaya

Hilirisasi nikel memiliki dampak yang sangat spesifik terhadap perempuan, yang sering kali terabaikan dalam narasi pembangunan. Di Desa Tapunggaya, Konawe Utara, perempuan secara tradisional memainkan peran sentral dalam perekonomian keluarga dengan mengelola hasil laut dan membuat anyaman dari daun nipah. Namun, sejak masuknya perusahaan pertambangan, pencemaran laut membuat hasil laut tidak layak lagi untuk dikonsumsi, dan deforestasi menyebabkan pohon-pohon nipah lenyap. Akibatnya, perempuan kehilangan pekerjaan dan peran ekonomi mereka, memaksa mereka untuk menjadi ibu rumah tangga dan terpaksa menjual aset atau berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Situasi ini bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial, identitas, dan peran gender yang telah mengakar dalam masyarakat.

  1. Kesenjangan Ekonomi yang Menganga

Meskipun nilai ekspor nikel Indonesia mengalami lonjakan tajam, dari US$ 4 miliar pada tahun 2017 menjadi US$ 34 miliar pada tahun 2022, peningkatan ini tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat lokal. Ironisnya, di tengah gemerlap industri nikel, angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara justru melonjak. Fenomena ini disebut "pertumbuhan ekonomi tanpa pembangunan," di mana keuntungan besar mengalir keluar negeri ke investor asing, sementara biaya lingkungan dan sosial ditanggung sepenuhnya oleh Indonesia. Keterbatasan lapangan kerja yang layak, upah rendah, dan kesenjangan distribusi keuntungan memperparah kemiskinan struktural yang dialami masyarakat.

4. Rekonstruksi untuk Keadilan: Sebuah Model Tata Kelola Baru

Untuk mengakhiri pengkhianatan terhadap keadilan yang terjadi, diperlukan rekonstruksi kebijakan hukum dan tata kelola hilirisasi nikel yang radikal, berlandaskan pada prinsip konstitusi ekonomi. Model ini harus memastikan bahwa manfaat dari sumber daya alam dirasakan secara merata oleh rakyat, dan bukan hanya oleh segelintir korporasi.

  1. Reformasi Hukum dan Aktualisasi Prinsip Konstitusional

Pemerintah dan DPR harus segera merevisi regulasi pertambangan, termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan peraturan turunannya, untuk secara eksplisit mengaktualisasikan Pasal 33 UUD 1945. Regulasi harus mencakup ketentuan yang ketat mengenai perlindungan lingkungan, seperti larangan deforestasi di kawasan lindung dan kewajiban rehabilitasi ekosistem yang rusak.

Selain itu, perlu diperkuat mekanisme pengawasan (toezichthoudensdaad) dan penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang melanggar. Sanksi, seperti denda berat dan pencabutan izin, harus diterapkan tanpa pandang bulu untuk memastikan bahwa keuntungan ekonomi tidak didapat dengan mengorbankan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat.

  1. Mengendalikan Hilirisasi untuk Kepentingan Nasional

Prinsip "hak menguasai negara" menghendaki agar pengelolaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dilakukan secara langsung oleh negara, dalam hal ini melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dominasi investasi asing dalam industri smelter, yang mencapai 80%, menyebabkan sebagian besar keuntungan mengalir keluar negeri, sementara kerusakan lingkungan dan sosial tetap menjadi beban domestik.

Oleh karena itu, perlu ada reformulasi kebijakan yang memprioritaskan pengelolaan hilirisasi nikel kepada BUMN. Dominasi BUMN akan memastikan bahwa keuntungan dapat dioptimalkan untuk kepentingan rakyat, dan bahwa operasional perusahaan lebih selaras dengan prinsip-prinsip sosial dan lingkungan. Meskipun BUMN memiliki tantangan tata kelola, perbaikan internal dan penguatan akuntabilitas dapat menjadikannya aktor utama yang mampu mengendalikan seluruh rantai industri nikel dari hulu ke hilir.

  1. Komitmen Nyata pada Transisi Energi Berkeadilan

Transisi energi yang sejati harus dimulai dari hulu, di mana energi untuk smelter nikel harus beralih dari batu bara ke sumber energi terbarukan (EBT). Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah, mencapai 3.686 GW, yang terdiri dari tenaga air, panas bumi, bioenergi, surya, angin, dan energi laut. Namun, pemanfaatannya saat ini baru mencapai kurang dari 1%, atau 12,54 GW.

Pemerintah harus membuat grand design yang jelas untuk memensiunkan PLTU batu bara dan mengarahkannya pada pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT untuk kebutuhan smelter. Insentif dan regulasi yang ketat harus mendorong perusahaan untuk mengadopsi teknologi bersih dan ramah lingkungan. Tanpa langkah konkret ini, narasi transisi energi hanya akan menjadi retorika kosong yang mengaburkan realitas polusi dan ketidakadilan.

C. Penutup

Narasi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui hilirisasi nikel telah menciptakan jurang yang dalam antara janji dan realitas, antara "Nikel untuk Dunia" dan "Polusi untuk Rakyat." Kasus di Sulawesi menunjukkan bahwa kebijakan ini, meskipun berhasil meningkatkan pendapatan negara, telah mengkhianati keadilan konstitusional yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Deforestasi yang masif, pencemaran lingkungan yang serius, dan marginalisasi masyarakat lokal, terutama perempuan, menjadi bukti nyata bahwa keberlanjutan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka ekonomi, tetapi dari kesejahteraan holistik masyarakat dan kelestarian ekosistem.

Maka, sudah saatnya bagi pemerintah untuk mengambil langkah berani dan bertanggung jawab. Rekonstruksi kebijakan hukum, optimalisasi peran negara, dan komitmen nyata pada transisi energi berkeadilan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan moral dan konstitusional. Hanya dengan demikian, hilirisasi nikel dapat diubah dari sebuah pengkhianatan menjadi wujud nyata dari kedaulatan negara yang berpihak pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan keberlanjutan alam.

Daftar Pustaka

Adidharma, M. A., Takarina, N. D., Supriatna, E., & Pratikino, A. G. (2023). Sebaran dan Kontaminasi Logam Berat Nikel (Ni) pada Sedimen di Pesisir Desa Tapuemea dan Tapunggaya, Kabupaten Konawe Utara. Jurnal Kelautan Nasional, 18(3), 233-242.

Arrsa, R. C., Setiawan, E. B., Habib, A. T., Rahman, A., Pradana, I. S., Foseptin, R., & Rizaldi, M. N. (2024). Jaminan Hak Konstitusional Berdasarkan Konsep Green Constitution: Perbandingan Konstitusi Indonesia dan Ekuador. Jurnal Kajian Konstitusi, 4(1), 25-48.

CNBC Indonesia. (2025, Agustus 3). Nikel Oversupply, Ini Daftar Korban 4 Smelter di Sulawesi.

Gunarto, E., & Mokodompit, E. A. (2024). Dampak Pencemaran Limbah Tambang Nikel Terhadap Kehidupan Masyarakat Pesisir. Jurnal Cakrawala Ilmiah, 4(4), 269-274.

Jimly Asshiddiqie. (2016). Konstitusi Ekonomi. Kompas Media Nusantara.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). (2023, Mei 29). Daya Rusak Industri Pengolahan Nikel di Bantaeng.

Mongabay.co.id. (2023, Agustus 25). Riset Smelter Nikel di Bantaeng Punya Dampak Buruk untuk Lingkungan dan Warga Sekitar.

National Geographic. (2025, Februari 2). Sisi Gelap Pertambangan Nikel di Sulawesi, Dampaknya pada Hutan dan Masyarakat.

Setiawan, E. B., Koeswahyono, I., & Qurbani, I. D. (2025). Prinsip Konstitusi Ekonomi dalam Hilirisasi Nikel untuk Mewujudkan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan. RECHTSVINDING, 14(1), 1-26.

Tribunnews Makassar. (2025, Juli 17). PT Huadi Bantaeng Berhenti Beroperasi, Karyawan Demo Tutup Akses Menuju Pabrik.

VOA Indonesia. (2023, Agustus 22). Aliansi Sulawesi: Hilirisasi Nikel Cenderung Merugikan Ketimbang Menguntungkan.

WALHI Sulawesi Selatan. (2025, Maret 18). WALHI Sulsel Ungkap Ekspansi Industri Nikel di Luwu Timur Ancam Ekosistem Hutan Hujan Danau Towuti.

WALHI Region Sulawesi. (2021). Catatan Akhir Tahun 2021: Red Alert Ekspansi Nikel di Sulawesi. WALHI.

Yayasan Indonesia Cerah. (2025, Juni 4). Tambang Nikel Indonesia Ancam Lingkungan Sekitar.

 

Related article

Mengobral Mineral Kritis: Menguak Persoalan Hilirisasi Nikel di Balik Komitmen Transisi Energi Indonesia

Mengobral Mineral Kritis: Menguak Persoalan Hilirisasi Nikel

29 September 2025

footer yayasan