Tulisan karya Wahyu Candra Dewi ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.
Dalam berbagai upaya mitigasi iklim global, mineral kritis seperti nikel memiliki peranan yang krusial, utamanya pada proses transisi energi. Pasalnya, sebagaimana yang dilaporkan oleh International Energy Agency (IEA), semua teknologi yang digunakan untuk menghasilkan energi bersih – dari PLTA dan PLTP hingga kendaraan elektrik dan penyimpanan baterai – menggunakan nikel sebagai salah satu komponen produksi utama. Karenanya, ketika banyak negara mulai beralih ke sistem energi berkelanjutan, permintaan terhadap komoditas nikel pun mengalami peningkatan yang signifikan, setidaknya 10 persen setiap tahun sejak 2016. Proporsi tersebut juga diperkirakan akan naik hingga 21 kali lipat pada tahun 2040, sebuah angka potensial yang menciptakan urgensi untuk mendorong percepatan ekstraksi nikel, utamanya di negara-negara dengan cadangan besar seperti Indonesia.
Peluang bertumbuh ini pun tak dilewatkan oleh pemerintahan Indonesia. Berbekal 5,2 milyar ton cadangan nikel yang terpusat di wilayah Sulawesi dan Maluku, Indonesia mulai melakukan ekspansi dengan tujuan yang lebih besar dari sekedar ekspor nikel mentah. Melalui proyek hilirisasi, sumber daya negeri dipromosikan sebagai pusat destinasi investasi energi baru terbarukan. Langkah ini tidak hanya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dalam negeri, memperluas lapangan pekerjaan, dan mengoptimalkan pendapatan nasional. Hilirisasi nikel juga ditujukan sebagai tapak awal penciptaan industri hilir kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan poros transisi energi global. Di bawah kebijakan ini, industri penambangan dan pengolahan nikel meningkat tajam. Sampai dengan tahun 2024, pemerintah telah mengeluarkan 338 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk ekstraksi nikel dan mendorong pembangunan 147 smelter dengan 49 diantaranya telah beroperasi aktif. Dampak ekonomi yang muncul pun sangat substansial dengan kenaikan pendapatan bukan pajak yang mencapai IDR 510 triliun, sebuah angka fantastis yang sangat diperlukan untuk pembangunan nasional.
Namun, perjalanan proyek hilirisasi ini tidaklah berjalan tanpa konsekuensi. Nyatanya, bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan dan smelter nikel, mimpi menjadi poros transisi energi menjelma sebagai sebuah kengerian multidimensional tanpa henti. Ekstraksi nikel besar-besaran, meski berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi makro, telah melemahkan simpul ekologis dan penghidupan masyarakat setempat setidaknya karena dua alasan. Pertama, praktik ekspansi pertambangan nikel telah menggusur kawasan hutan yang menjadi elemen penting penyangga ekosistem. Misalnya di wilayah Halmahera, data dari Transparency International menunjukkan total deforestasi akibat perluasan tambang nikel mencapai hampir 24 ribu hektar selama kurun waktu 5 tahun dari 2016 hingga 2021. Proses konsesi lahan ini tidak hanya berdampak pada keseimbangan ekologis, desa-desa terdekat juga menjadi lebih rawan terhadap bencana. Banjir bandang kini menjadi sebuah realitas tahunan; meluluhlantakkan sawah, ladang dan infrastruktur sosial yang menopang daya ekonomi lokal.
Kedua, aktivitas industri nikel juga telah menyisakan debu merah dan limbah yang mencemari sumber air dan tanah. Beberapa Sungai di wilayah Maluku Utara, dilaporkan telah berubah menjadi warna kuning kecoklatan dan mengandung polutan yang mengkontaminasi populasi ikan. Residual pengolahan nikel juga merusak struktur tanah sehingga menurunkan produktivitas lahan. Akibatnya, masyarakat yang bertumpu pada kegiatan perikanan dan pertanian memiliki sumber penghidupan yang lebih sempit dan berpotensi melahirkan kembali kerentanan ekonomi. Sebuah harga yang harus dibayar sangat mahal, tidak oleh negara atau investor, tetapi oleh masyarakat lokal terdampak. Ironisnya, luka sosial-ekologis ini kerap luput dari perhatian pemerintah, tertutupi oleh hingar bingar yang mengagungkan nikel sebagai tumpuan ekonomi nasional dan transisi energi terbarukan. Dalam prosesnya, wacana ini meminggirkan banyak sekali hal, termasuk narasi tentang keadilan dan sebenar-benarnya keberlanjutan.
Hilirisasi Nikel sebagai Sebuah Solusi Imajiner
Selain dari latar belakang ekonomi, kebijakan ekstraksi nikel juga datang dari sebuah logika berpikir seperti ini: nikel adalah bahan penting bagi berbagai teknologi energi baru terbarukan, maka dengan mengembangkan industri nikel, negara turut serta mewujudkan visi transisi energi hijau. Sebuah gagasan yang sekilas terdengar cukup masuk akal. Namun, logika ini menjadi begitu sarat permasalahan ketika diterjemahkan ke dalam tataran praktik. Pertama, meski industri nikel dapat mendukung tercapainya transisi energi, proses pengolahan nikel dalam negeri ternyata tidak sepenuhnya hijau. Selain dari angka deforestasi yang meningkat, pengoperasian smelter juga membutuhkan energi besar. Dalam kasus Indonesia, 70 persen kebutuhan energi ini dihadirkan melalui PLTU captive yang berbasis batubara. Hal ini menimbulkan sebuah paradoks, lantaran transisi energi hijau yang seharusnya dapat melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil, malah dihasilkan dari sumber energi serupa. Ketergantungan smelter pada PLTU batubara captive juga menegaskan ironi yang melekat pada proyek hilirisasi nikel: bagaimana solusi iklim yang dibangun di atas logika yang demikian tersebut sejatinya bersifat parsial dan kontradiktif. Alih-alih menjadi motor penggerak transisi energi yang sesungguhnya, industri ini justru mereproduksi pola energi fosil yang selama ini menjadi sumber masalah lingkungan global dan melahirkan kembali kerentanan ekologis secara berulang.
Kedua, membungkus industri nikel sebagai wajah dari upaya transisi energi menutupi masalah struktural dalam strategi energi nasional. Bukannya berfokus pada transisi yang berkeadilan, pemerintah malah begitu mengagungkan visi hilirisasi nikel sebagai simbol kemajuan ekonomi dan komitmen terhadap energi bersih, seraya mengesampingkan risiko sosial dan ekologis yang nyata. Narasi ini menciptakan sebuah imajinasi tentang bagaimana pertumbuhan industri nikel akan secara otomatis sejalan dengan aspek keberlanjutan dan keadilan sosial, padahal pada kenyataannya banyak praktik yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Masyarakat lokal, yang seharusnya menjadi bagian dari proses perencanaan dan pengawasan, justru sering dipinggirkan; aspirasi mereka jarang terdengar dalam pengambilan keputusan terkait pertambangan dan pembangunan smelter.
Lebih dari itu, di beberapa kasus, masyarakat setempat juga terlihat mengalami penggusuran secara sistematis dari tanah tempat mereka hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Taufik dkk., misalnya, menunjukkan bagaimana pembangunan smelter di kawasan Bahodopi menimbulkan konflik horizontal yang akhirnya memaksa warga meninggalkan desa mereka. Kapasitas sumber daya manusia yang terbatas menyebabkan perusahaan nikel mendatangkan pekerja dari luar, utamanya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis. Sementara itu, masyarakat lokal hanya ditempatkan di berbagai pekerjaan kasar, tentu dengan jumlah penghasilan yang jauh lebih rendah. Situasi tersebut menciptakan ketimpangan yang agaknya sengaja dilakukan secara sistematis oleh perusahaan yang beroperasi. Pada akhirnya, dengan semakin tergerusnya kesempatan ekonomi bagi masyarakat lokal, mereka mau tak mau harus meninggalkan desa untuk mencari sumber penghidupan lain.
Ruang hidup yang tergerus, jaringan ekosistem lokal yang memburuk, hingga masyarakat setempat yang terpinggirkan oleh struktur - dinamika ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel sebagai bagian dari gambaran besar pembangunan berkelanjutan hanyalah sebuah ilusi semata. Solusi imajiner yang dibangun dari logika penundukkan yang sama dengan pola-pola kolonialisme. Ia hadir tidak untuk menjadi jawaban atas tantangan krusial dari krisis iklim, tapi sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan ekonomi segelintir pemangku kepentingan. Lantas, apakah kebijakan ini sepenuhnya keliru? Permasalahannya tentu tidak sesederhana itu.
Bagaimanapun juga, dari tataran ide, pengembangan industri hilirisasi nikel memiliki potensi yang besar, tidak hanya untuk mendorong kemandirian ekonomi nasional tapi juga untuk mendukung proses transisi energi global yang begitu dibutuhkan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Permasalahannya terletak pada bagaimana industri ini dijalankan. Lebih dari sekedar ekstraksi, penambangan dan pengolahan nikel memerlukan tata kelola yang mengedepankan transisi berkeadilan. Menurut laporan Yayasan Indonesia Cerah, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong implementasi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) secara lebih substansial pada praktik-praktik industri nikel. Artinya, tidak hanya model pengembangan bisnis yang harus sepenuhnya mengutamakan integrasi sosial ekologis, diperlukan pula sebuah peraturan yang dapat mengawasi secara ketat adopsi ESG di perusahaan terkait. Selama ini, perkembangan ESG di Indonesia tergolong begitu lamban dan prinsip ini hanya dijalankan diatas kertas tanpa ada komitmen yang jelas baik dari pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya yang terlibat. Situasi ini tentu bisa ditanggulangi dengan peran aktif pemerintah untuk memastikan praktik ESG berpayung hukum dan memiliki mekanisme pengukuran serta pelaporan yang memadai.
Lebih jauh lagi, industri nikel juga bisa didorong untuk lebih berkelanjutan melalui penggunaan teknologi-teknologi baru yang ramah lingkungan. Penelitian dari Randrikasari dkk., misalnya, menyoroti potensi pengembangan sintesis hijau nanopartikel untuk mewujudkan green smelter. Alih-alih menggunakan pirometalurgi yang menghasilkan emisi karbon, metode baru ini menggunakan ekstrak tumbuhan untuk mendukung proses produksi yang lebih aman dan hemat biaya. Li dkk. menawarkan solusi Chemical Mechanical Polishing (CMP), sebuah metode inovatif untuk memproses paduan nikel menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan, seperti asam mandelat, abrasif komposit ceria-silika, dan air deionisasi. Kemunculan teknologi baru dalam pengolahan nikel ini tentu memberikan harapan bagi terciptanya industri mineral kritis yang dapat mendorong sebenar-benarnya keadilan dan keberlanjutan.
Namun demikian, diatas semua peluang regulasi dan teknologi tersebut, faktor penentu yang paling penting adalah keberadaan political will dari pemerintah untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan. Bagaimanapun juga pemerintah adalah tumpuan penting yang memiliki kuasa besar untuk menentukan arah kebijakan hilirisasi nikel dalam mencapai transisi energi. Tanpa komitmen yang kuat untuk berpihak kepada rakyat, transisi energi berkeadilan yang tidak meninggalkan dan meminggirkan siapapun, hanyalah menjadi mimpi besar yang kosong. Pada akhirnya, narasi transisi energi tidak benar-benar diupayakan, ia hadir hanya untuk ‘melegitimasi’ eksploitasi sumber daya alam yang memberikan profitabilitas pada segelintir elit penguasa. Ia digunakan hanya untuk ‘membenarkan’ proses penundukan terhadap alam yang telah menjadi ruang hidup bagi banyak manusia. Pertanyaannya: kepada siapakah pemerintah memilih berhutang kesetiaan - kepada ibu bumi dan anak-anaknya atau kepada ambisi elit yang menimbun keuntungan?