Benarkah Batu Bara Bisa Bersih? Fakta di Balik Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS)

19 Mei 2025

-

Admin CERAH

Apakah Batu Bara Bisa Bersih? Ini Fakta Teknologi CCS

Tekanan untuk mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi bersih semakin besar, baik di tingkat global maupun nasional. Salah satu solusi yang sering diajukan untuk mengurangi emisi dari batu bara adalah teknologi Carbon Capture and Storage atau CCS. Teknologi ini diklaim mampu menangkap dan menyimpan emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, sehingga dianggap dapat membuat energi fosil ini menjadi lebih ramah lingkungan.

Namun, pertanyaan pentingnya adalah: apakah benar batu bara bisa menjadi “bersih” dengan bantuan teknologi ini?

Apa Itu Teknologi Carbon Capture and Storage?

Carbon Capture and Storage (CCS) adalah teknologi yang dirancang untuk menangkap emisi karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan dari aktivitas industri, termasuk pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara. Setelah ditangkap, karbon akan dikompresi dan disimpan dalam formasi geologis di bawah tanah dengan tujuan agar tidak kembali ke atmosfer.

Di atas kertas, teknologi ini terlihat menjanjikan. Namun, efektivitasnya dalam praktik masih menimbulkan banyak pertanyaan, terutama terkait kemampuan jangka panjangnya dalam mencegah emisi karbon masuk ke atmosfer.

Efektivitas CCS Belum Terbukti Konsisten

Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa tidak ada teknologi CCS saat ini yang mampu menangkap lebih dari 80 persen emisi karbon secara konsisten. Bahkan, beberapa teknologi CCS hanya mampu menangkap sekitar 15 persen dari total emisi.

Dengan kata lain, sebagian besar emisi karbon masih tetap terlepas ke atmosfer meskipun teknologi ini digunakan. Hal ini menjadikan CCS bukanlah solusi utama yang dapat diandalkan untuk mengatasi krisis iklim.

Lebih lanjut, CCS juga memerlukan biaya investasi dan operasional yang sangat tinggi. Ini membuat banyak proyek CCS tidak ekonomis, apalagi jika dibandingkan dengan opsi energi terbarukan yang terus mengalami penurunan biaya produksi.

Risiko Kebocoran Karbon dan Dampaknya

Salah satu risiko terbesar dari teknologi CCS adalah potensi terjadinya kebocoran karbon yang disimpan di bawah tanah. Jika karbon bocor ke permukaan, ini dapat mencemari air tanah dan menimbulkan risiko kesehatan bagi masyarakat sekitar.

Laporan ilmiah menunjukkan bahwa kebocoran sekecil 1 persen setiap 10 tahun bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap pemanasan global. Karbon dioksida yang kembali ke atmosfer tetap akan menjadi kontributor utama perubahan iklim.

Untuk memastikan tidak terjadi kebocoran, diperlukan sistem pemantauan yang ketat, pengawasan jangka panjang, serta penegakan regulasi yang tegas. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan dalam pengawasan dan kapasitas teknis.

Proyek CCS Dunia Banyak Mengalami Kegagalan

Berbagai proyek CCS yang sudah dijalankan di dunia menunjukkan bahwa teknologi ini masih jauh dari kata berhasil.

1. Proyek Gorgon di Australia

Gorgon merupakan salah satu proyek CCS terbesar di dunia. Namun, proyek ini gagal memenuhi target penangkapan emisinya dan membutuhkan tambahan dana sebesar 100 hingga 184 juta dolar Amerika untuk menutup kekurangan penyerapan sebesar 5,23 juta ton CO₂.

2. Proyek In Salah di Aljazair

Proyek ini dihentikan pada tahun 2011 karena terjadi pergerakan lapisan tanah yang meningkatkan risiko kebocoran karbon. Ini menunjukkan bahwa penyimpanan geologis bukan tanpa bahaya.

3. Proyek Sleipner di Norwegia

Karbon yang disuntikkan ke bawah tanah justru berpindah ke lapisan yang lebih atas lebih cepat dari perkiraan. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya kebocoran ke atmosfer, sekaligus memunculkan potensi bahaya lingkungan yang tidak terduga.

Data Global: Kontribusi CCS Sangat Minim

Menurut laporan IEEFA, dari 13 proyek CCS/CCUS besar yang beroperasi di dunia, total emisi karbon yang berhasil ditangkap hanya sekitar 39 juta ton per tahun. Angka ini hanya sekitar 0,01 persen dari total emisi global pada tahun 2021. Fakta ini membuktikan bahwa teknologi CCS masih belum signifikan dalam upaya mengatasi krisis iklim secara global.

CCS Bukan Solusi, Melainkan Strategi Penundaan

Meskipun teknologi CCS sering digadang-gadang sebagai solusi transisi energi bersih, kenyataannya CCS justru bisa menjadi alat penundaan transisi energi. Banyak perusahaan energi fosil menggunakan CCS sebagai dalih untuk melanjutkan operasional pembangkit batu bara mereka, tanpa benar-benar mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Dengan menggunakan narasi bahwa “batu bara kini bisa bersih”, CCS berpotensi digunakan sebagai bentuk greenwashing. Ini adalah praktik di mana perusahaan membuat kebijakan atau program yang tampak ramah lingkungan, padahal dampaknya terhadap pengurangan emisi sangat minim.

Potensi Energi Terbarukan Indonesia yang Belum Dimaksimalkan

Indonesia sebenarnya memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Sayangnya, potensi ini belum dimaksimalkan secara optimal karena masih tingginya ketergantungan terhadap energi fosil, terutama batu bara.

Beberapa potensi energi terbarukan Indonesia antara lain:

  • Energi surya: Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki paparan sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun, sangat ideal untuk pengembangan panel surya.

  • Energi air dan angin: Banyak daerah di Indonesia, terutama daerah pegunungan dan pesisir, memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber energi air dan angin.

Pengembangan energi terbarukan tidak hanya lebih bersih, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. Selain itu, sektor ini mampu membuka lapangan kerja baru, meningkatkan ketahanan energi, serta mendukung pencapaian target emisi karbon nasional.

Kesimpulan: Waktunya Beranjak dari Batu Bara

Berdasarkan berbagai bukti dan fakta, klaim bahwa batu bara bisa menjadi bersih dengan bantuan teknologi CCS masih sangat diragukan. Efektivitasnya tidak konsisten, risikonya tinggi, dan dampaknya terhadap pengurangan emisi karbon masih sangat kecil secara global.

Alih-alih mengandalkan solusi yang belum terbukti dan berisiko tinggi, Indonesia seharusnya segera beralih ke energi terbarukan yang lebih aman, murah, dan berkelanjutan. Investasi dalam energi bersih adalah langkah nyata untuk melindungi lingkungan, mengurangi polusi, dan menjaga masa depan generasi mendatang.

Menunda transisi energi bersih hanya akan memperbesar beban lingkungan dan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat harus bersama-sama mendorong percepatan transisi dari batu bara ke energi terbarukan.

Artikel Terkait

Persepsi Pemilih Muda dan Pemula Terhadap Krisis Iklim

Persepsi Pemilih Muda dan Pemula Terhadap Krisis Iklim

02 Agustus 2023

footer yayasan