PLTU Batang atau Central Java Power Plant berdiri megah di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dengan kapasitas sebesar 2.000 megawatt (MW). Sejak resmi beroperasi pada tahun 2022, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ini menjadi salah satu penyuplai utama kebutuhan listrik di Pulau Jawa. Namun, di balik megahnya proyek ini, tersimpan kisah pilu dari warga sekitar yang kehilangan sumber penghidupan mereka.
PLTU Batang dan Janji Kemakmuran yang Tak Terealisasi
Proyek PLTU Batang sejak awal digadang-gadang sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Dengan investasi besar dan teknologi terbaru, pembangkit ini disebut-sebut akan memberikan kontribusi besar terhadap ketahanan energi Indonesia, terutama di Jawa yang menjadi pusat industri dan pemukiman padat penduduk.
Namun, keberadaan PLTU Batang justru menyisakan luka bagi warga sekitar. Alih-alih membawa kesejahteraan, keberadaan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara ini justru menghadirkan penderitaan bagi para nelayan dan petani yang selama ini menggantungkan hidup dari laut dan lahan pertanian.
Nelayan Terpaksa Melaut Lebih Jauh
Haryono, seorang nelayan dari Desa Roban Timur, menjadi salah satu warga yang terdampak paling parah. Sebelum PLTU dibangun, Haryono bisa melaut selama satu jam menggunakan 20 liter bensin dan membawa pulang hasil tangkapan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Kini, ia harus menempuh perjalanan yang jauh lebih panjang dan menghabiskan 40 hingga 50 liter bensin hanya untuk mendapat hasil yang jauh lebih sedikit.
Perubahan drastis ini terjadi karena ikan-ikan di wilayah pesisir mulai menghilang. Diduga kuat, aktivitas PLTU telah merusak ekosistem laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan utama masyarakat pesisir Batang.
Tak hanya itu, para nelayan juga mengeluhkan kondisi laut yang tercemar. Jaring mereka sering kali dipenuhi bongkahan batu bara, bukan ikan. Hal ini diungkapkan oleh Dinar Bayu, pegiat lingkungan dari Greenpeace Indonesia, yang turut memantau kondisi ekosistem pesisir Batang sejak awal pembangunan PLTU.
Protes Nelayan Diabaikan
Sejak awal pembangunan, para nelayan sebenarnya telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap proyek ini. Mereka menolak dengan tegas keberadaan PLTU karena mengancam kehidupan mereka yang bergantung pada laut. Namun, suara-suara penolakan tersebut nyaris tak terdengar di tengah gencarnya narasi pembangunan dan investasi.
Dalam berbagai aksi protes yang dilakukan, para nelayan menuntut keadilan ekologis dan perlindungan atas ruang hidup mereka. Sayangnya, seperti banyak proyek infrastruktur besar lainnya, kepentingan warga lokal kerap terpinggirkan oleh ambisi pembangunan.
Petani Juga Kehilangan Akses ke Lahan
Tak hanya nelayan, para petani di Batang juga ikut merasakan dampak buruk dari pembangunan PLTU. Salah satu kisah memilukan datang dari seorang petani di Desa Ponowareng. Ia tak lagi bisa mengakses lahan miliknya sendiri, meskipun belum pernah menjualnya kepada pihak pengembang PLTU.
Ketika mencoba masuk ke lahannya sendiri, petani tersebut justru digiring ke pos keamanan. Lahan yang dulunya menjadi sumber pangan dan pendapatan, kini berubah menjadi wilayah terlarang yang dikuasai oleh pihak perusahaan. Kasus seperti ini bukan hal yang asing dalam pembangunan proyek-proyek besar, di mana penguasaan tanah sering kali dilakukan tanpa transparansi dan tanpa mengindahkan hak-hak warga.
PLTU Batang dan Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Pembangkit listrik tenaga uap seperti PLTU Batang dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar emisi karbon dioksida dan polusi udara. Proses pembakaran batu bara menghasilkan emisi gas rumah kaca, partikel debu, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Selain itu, limbah industri dari PLTU, termasuk fly ash dan bottom ash, dapat mencemari air dan tanah di sekitarnya. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah ini akan berdampak buruk terhadap pertanian, perikanan, dan kehidupan masyarakat sekitar.
Transisi Energi untuk Masa Depan yang Lebih Adil
Cerita dari Batang menjadi gambaran nyata bahwa pembangunan energi berbasis batu bara masih menyimpan banyak persoalan serius. Di tengah krisis iklim global, dunia sudah mulai beralih dari energi kotor (dirty energy) seperti batu bara ke energi bersih dan terbarukan.
Indonesia pun telah mencanangkan target net-zero emission pada tahun 2060. Namun, komitmen ini akan sulit tercapai jika proyek-proyek PLTU batu bara terus dikembangkan dan merampas ruang hidup warga. Transisi energi seharusnya tidak hanya berbicara tentang teknologi, tetapi juga keadilan sosial dan perlindungan terhadap masyarakat yang paling rentan.
Sudah saatnya Indonesia menghentikan ketergantungan terhadap batu bara dan mulai mengembangkan sumber energi bersih seperti surya, angin, dan biomassa yang ramah lingkungan. Lebih dari itu, transisi energi juga harus memastikan keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, serta menyediakan akses terhadap pelatihan, pekerjaan alternatif, dan kompensasi yang layak bagi warga terdampak.
Kesimpulan
PLTU Batang yang awalnya dijanjikan sebagai simbol kemajuan dan pemenuhan kebutuhan listrik nasional, kini menjadi sumber penderitaan bagi nelayan dan petani di sekitarnya. Hilangnya sumber penghidupan, kerusakan lingkungan, dan pengabaian hak atas tanah menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak inklusif dan tidak berkeadilan hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan perlu meninjau ulang arah kebijakan energi nasional. Transisi energi menuju sumber yang bersih dan adil harus segera dipercepat, bukan hanya demi lingkungan, tetapi demi masa depan rakyat Indonesia yang lebih baik.
Sumber referensi:
CNN Indonesia, 30 Juni 2025
CNN Indonesia, 20 Desember 2020
Mongabay Indonesia, 9 Juni 2016
Mongabay Indonesia, 28 Maret 2016
Tempo.co, 27 September 2022
- ekon.go.id, 20 Maret 2014