Tulisan karya Lidwina Hana ini adalah 1 dari 10 karya terbaik dalam ajang kompetisi menulis CERAH Open Column Competition 2025.
Komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 menggaung di kancah internasional, mencerminkan ambisi besar dalam menghadapi krisis iklim. Target ini pertama kali diumumkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagaimana tercantum dalam Siaran Pers Nomor: 359.Pers/04/SJI/2021 yang dirilis pada 8 Oktober 2021. Namun di balik retorika tersebut, arah kebijakan nasional malah menjauh dari pengembangan energi bersih, praktik di lapangan terus memperkuat ketergantungan pada sumber energi fosil.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang dirilis oleh PT PLN (Persero) memperjelas kontradiksi antara ambisi dan realitas transisi energi Indonesia. Di saat Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen untuk menghentikan pembangkit energi fosil pada 2040 dalam forum G20 di Brasil, dokumen RUPTL justru mengalokasikan tambahan kapasitas sebesar 16,6 gigawatt (GW) dari pembangkit berbasis fosil yang terdiri atas 6,3 GW batu bara dan 10,3 GW gas. Tanpa revisi menyeluruh dan keberanian untuk meninggalkan energi fosil, visi Indonesia sebagai pemimpin energi bersih hanya akan menjadi retorika kosong. Sebagai pembanding, dalam RUPTL 2019–2028, pemerintah menetapkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 56,39 GW, di mana 48% atau sekitar 27 GW berasal dari PLTU berbahan bakar batu bara. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun komitmen Net Zero Emission telah digaungkan, batu bara tetap menjadi tulang punggung rencana pembangkit listrik nasional.
Menurut analisis Yayasan Indonesia Cerah, klaim bahwa batu bara dapat menjadi “bersih” melalui teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) sangat diragukan. Teknologi ini belum terbukti efektif menangkap emisi secara konsisten, malah menjadi pembenaran bagi industri batu bara untuk terus beroperasi. Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa sebagian besar proyek CCS hanya mampu menangkap kurang dari 80% emisi, bahkan ada yang hanya mencapai 15%. Selain efektivitas yang rendah, CCS juga memiliki biaya pembangunan dan operasional yang sangat tinggi, menjadikannya tidak ekonomis dibandingkan dengan energi terbarukan yang semakin terjangkau. Risiko kebocoran karbon dari penyimpanan bawah tanah pun menjadi ancaman serius karena dapat mencemari air tanah dan membahayakan kesehatan masyarakat. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage (2005) menyebutkan kebocoran sekecil 1% per 100 tahun dapat mengurangi efektivitas CCS secara signifikan dan berisiko mengembalikan emisi ke atmosfer.
Lebih lanjut, Yayasan Indonesia Cerah menyoroti proyek CCS yang merupakan bagian dari skema Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) digunakan untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) yakni proses peningkatan produksi minyak dengan menyuntikkan karbon ke dalam ladang minyak. Praktik ini menimbulkan kontradiksi, alih-alih berkontribusi terhadap pengurangan emisi, teknologi tersebut jadi memperpanjang masa pakai bahan bakar fosil dan berpotensi meningkatkan total emisi secara kumulatif. Fenomena ini mengindikasikan bahwa CCS/CCUS tidak hanya menghadapi tantangan teknis dan ekonomi yang signifikan, tetapi juga bertentangan secara prinsip dengan arah transisi energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berorientasi pada dekarbonisasi secara menyeluruh.
Narasi batu bara bersih dan transisi gas merupakan bentuk greenwashing yang menyesatkan publik dan mengaburkan urgensi perubahan sistemik. Alih-alih mempercepat transisi, strategi ini memperkuat dominasi energi fosil dan menunda transformasi yang seharusnya sudah dimulai. Dengan dalih CCS, perusahaan energi fosil mendapat legitimasi untuk melanjutkan operasi, sementara transisi ke energi terbarukan terus tertunda. Di tengah kontradiksi antara komitmen dan kebijakan, serta pembenaran baru bagi energi fosil melalui narasi batu bara bersih dan transisi gas, muncul pertanyaan mendasar, apakah kita benar-benar sedang menuju transisi energi, atau hanya mengulang kondisi lama dengan citra baru?
Teror terhadap Kesehatan dan Ekosistem
Di balik asap yang mengepul dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), muncul ancaman polusi yang merusak lingkungan dan menggerogoti kesehatan masyarakat. Di berbagai wilayah Indonesia, terutama di sekitar kawasan tambang dan PLTU, kualitas udara terus menurun akibat emisi berbahaya dari pembakaran batu bara. Zat seperti sulfur dioksida (SO₂), nitrogen oksida (NOₓ), dan partikel halus (PM2.5) menyebar ke atmosfer, memicu gangguan pernapasan, penyakit jantung, dan meningkatkan kasus kematian dini.
Riset yang dirilis oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkap bahwa PLTU Suralaya di Banten menjadi salah satu sumber utama polusi udara yang berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Emisi beracun dari pembakaran batu bara di PLTU tersebut diperkirakan menyebabkan 1.470 kematian dini setiap tahun, serta menimbulkan kerugian ekonomi akibat dampak kesehatan sebesar Rp14,2 triliun per tahun.
Masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis seperti asma, bronkitis, dan gangguan kardiovaskular. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan, terpapar polutan setiap hari tanpa perlindungan memadai. PLTU Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, menjadi sumber penderitaan bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Zuhermi, warga Talawi Hilir, mengalami batuk berkepanjangan dan mata perih setiap hari akibat paparan abu. Sementara itu, Eka Oktarizon didiagnosis bronkitis kronis setelah bertahun-tahun terpapar polusi dari PLTU. Bahkan, hasil pemeriksaan di SDN 19 Sijantang menunjukkan bahwa 76% siswa mengalami gangguan paru, termasuk tuberkulosis dan bronkitis.
Kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya terbatas pada polusi udara. Di bawah permukaan, air dan tanah pun ikut tercemar oleh zat beracun. Limbah tambang batu bara yang mengandung logam berat dan bahan kimia beracun kerap mengalir ke sungai dan danau, mencemari sumber air bersih yang digunakan oleh warga untuk minum dan mandi. Di beberapa daerah, pencemaran ini telah menyebabkan kerusakan ekosistem air dan mengancam kehidupan biota lokal. Kerusakan lingkungan akibat tambang batu bara juga bersifat permanen. Penebangan hutan, erosi tanah, dan hilangnya habitat satwa liar menjadi konsekuensi langsung dari eksploitasi sumber daya ini. Di Kalimantan dan Sumatra, bentang alam yang dulunya hijau kini berubah menjadi lubang-lubang tambang yang menganga, meninggalkan jejak luka ekologis yang sulit dipulihkan.
Di Desa Mekarsari, Indramayu, dampak operasional PLTU terasa nyata bagi warga sekitar. Sunardi, seorang buruh tani, mengaku gagal panen akibat musim kemarau yang lebih panjang dan paparan debu dari PLTU yang berdiri tak jauh dari sawahnya. Tanaman menjadi layu dan merengkel, sementara kualitas hasil panen menurun. Di sisi lain, Sawin, seorang nelayan tradisional di desa yang sama, kesulitan mencari udang rebon sejak limbah PLTU dibuang ke laut. Tanpa langkah nyata untuk mengurangi penggunaan batu bara dan mempercepat adopsi energi terbarukan, Indonesia akan terus membayar mahal melalui nyawa dan kualitas hidup warganya.
Langkah Menuju Transisi Energi Terbarukan
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan potensi energi terbarukan. Sebagai negara tropis yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia menerima sinar matahari sepanjang tahun, menjadikannya ideal untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Teknologi surya dapat diterapkan secara fleksibel, mulai dari skala rumah tangga hingga pembangkit besar. PLTS juga dapat dibangun terapung di atas waduk. Cara ini tidak hanya menghemat lahan, tetapi juga meningkatkan efisiensi panel karena suhu panel tetap dingin berkat efek pendinginan dari air. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), potensi teknis energi surya Indonesia mencapai 336,5 gigawatt (GW). Namun hingga pertengahan 2025, kapasitas terpasang PLTS nasional baru menyentuh 1 GW, atau kurang dari 0,3% dari potensi tersebut.
Potensi energi angin juga menjanjikan, terutama di wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan pesisir selatan Jawa yang memiliki kecepatan angin cukup stabil. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) cocok untuk skala kecil hingga menengah dan dapat menjadi solusi bagi daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan listrik utama.
Kemudian, energi hidro, baik dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) besar maupun mikrohidro, memanfaatkan ribuan sungai dan aliran air yang tersebar di seluruh Indonesia. Mikrohidro sangat relevan untuk desa-desa di daerah pegunungan atau hutan yang memiliki aliran air konstan, memberikan sumber energi yang stabil dan berkelanjutan. Ketiga sumber energi ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mendukung kemandirian energi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat ketahanan iklim nasional.
Contoh nyata datang dari Desa Karangtengah di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pada 2010, warga desa mengajukan permintaan sambungan listrik ke PLN, namun ditolak karena dianggap tidak layak secara teknis dan ekonomi. Tak menyerah, lima tahun kemudian warga membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) secara swadaya, tanpa bergantung pada jaringan listrik negara. Dengan teknologi sederhana dan semangat gotong royong, aliran sungai diubah menjadi aliran listrik. Karangtengah membuktikan bahwa transisi energi bisa dimulai dari desa, dari tangan masyarakat sendiri.
Transisi Energi Terbarukan yang Inklusif
Transisi energi tidak cukup hanya berbicara soal teknologi dan target emisi. Di balik narasi keberlanjutan, ada risiko besar jika prinsip keadilan tidak menjadi fondasi utama. Peralihan dari batu bara ke energi terbarukan dapat berubah menjadi proyek eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir pihak seperti korporasi besar, investor, dan elite kebijakan. Pekerja tambang, komunitas adat, dan masyarakat pedesaan berpotensi terpinggirkan. Tanpa jaminan perlindungan sosial atau akses terhadap peluang baru, mereka berada dalam posisi yang rentan.
Masyarakat adat di Indonesia kerap terpinggirkan ketika tanah leluhur mereka tumpang tindih dengan konsesi tambang batu bara. Konflik yang muncul bukan sekadar soal kepemilikan lahan, tetapi menyangkut identitas, keberlanjutan hidup, dan hak atas lingkungan yang sehat. Salah satu kasus nyata terjadi di Kutai Barat, Kalimantan Timur, di mana komunitas adat Sempeket Benuaq Dingin Tementekng mengalami penggusuran ladang tanpa ganti rugi oleh perusahaan tambang batu bara PT Energi Batu Hitam (EBH).
Inilah mengapa konsep Just Energy Transition menjadi sangat penting. Transisi harus dilakukan secara inklusif, dengan memastikan adanya pelatihan tenaga kerja, perlindungan bagi komunitas terdampak, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Tanpa itu, transisi energi hanya akan memperdalam ketimpangan dan menciptakan bentuk ketidakadilan baru yang dibungkus dalam nama keberlanjutan. Energi terbarukan harus dibangun bukan hanya dengan teknologi, tetapi dengan keberpihakan sosial yang nyata.
Saatnya arah pembangunan energi di Indonesia beralih dan berpihak pada masa depan. Ketergantungan pada batu bara dan gas tidak hanya memperburuk krisis iklim, tetapi juga menghambat transformasi energi yang sudah sangat mendesak. Kebijakan energi harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keadilan sosial, bukan kepentingan jangka pendek. Investasi wajib difokuskan pada pengembangan energi terbarukan yang memberdayakan masyarakat, menjaga lingkungan, dan memastikan akses yang adil.
Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk mewujudkan transisi energi terbarukan. Hal ini dapat dimulai dengan menetapkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang terukur, termasuk target tahunan dan indikator keberhasilan. Selain itu, Proyek Strategis Nasional (PSN) energi terbarukan harus diprioritaskan, baik dalam hal anggaran, perizinan, maupun dukungan riset dan pengembangan teknologi. Tidak kalah penting, edukasi publik dan pelibatan komunitas juga menjadi kunci untuk membangun budaya energi yang berkelanjutan.
Referensi
Alfathi, B. R. (2025, April 12). IESR: Indonesia miliki potensi 584 gigawatt EBT. GoodStats. https://data.goodstats.id/statistic/iesr-indonesia-miliki-potensi-584-gigawatt-ebt-lWnNM
Centre for Research on Energy and Clean Air. (2024, April 4). Polusi PLTU batu bara sebabkan ribuan kematian dini di Indonesia. BBC Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv213m30dxko
CERAH. (2025, May 26). New RUPTL not aligned with Prabowo’s energy pledge. CERAH. https://www.cerah.or.id/publications/article/detail/new-ruptl-not-aligned-with-prabowo-s-energy-pledge
CERAH. (2025, August 7). Can coal be clean? Examining the reality of CCS. CERAH. https://www.cerah.or.id/publications/article/detail/can-coal-be-clean-examining-the-reality-of-ccs
CERAH. (2025, Agustus 7). Dampak penggunaan batu bara bagi lingkungan dan kesehatan. CERAH. https://www.cerah.or.id/id/publications/article/detail/dampak-penggunaan-batu-bara-bagi-lingkungan-dan-kesehatan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2021, Oktober 8). Ini prinsip dan peta jalan pemerintah capai Net Zero Emission. https://esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-prinsip-dan-peta-jalan-pemerintah-capai-net-zero-emission
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2025, Mei 26). Materi paparan RUPTL PT PLN (Persero) tahun 2025–2034: Meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan energi nasional. https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/4ec39-materi-paparan-ruptl-2025-2034.pdf
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. “Ini Komitmen Indonesia Mencapai Net Zero Emission.” Kemenkeu.go.id, 24 Nov. 2022, https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Ini-Komitmen-Indonesia-Mencapai-Net-Zero-Emission.
Kompas.id. (2023, October 30). Warga terpapar abu PLTU. https://www.kompas.id/artikel/warga-terpapar-abu-pltu
Mardiansyah, D. (2025, Juni 3). Kementerian ESDM resmi rilis dokumen RUPTL PLN 2025–2034. Kontan.co.id.. https://industri.kontan.co.id/news/kementerian-esdm-resmi-rilis-dokumen-ruptl-pln-2025-2034
Metz, B., Davidson, O., de Coninck, H., Loos, M., & Meyer, L. (Eds.). (2005). IPCC special report on carbon dioxide capture and storage. Cambridge University Press. https://www.ipcc.ch/report/carbon-dioxide-capture-and-storage/
Pristiandaru, D. L., & Utomo, A. P. (2022, July 5). Mandiri energi dari Desa Banyumas: Sudah ada pembangkit tenaga hidro, warga tolak listrik PLN. Kompas.com.. https://regional.kompas.com/read/2022/07/05/185820578/mandiri-energi-dari-desa-banyumas-sudah-ada-pembangkit-tenaga-hidro-warga
Riyandanu, M. F. (2022, Juli 8). Kisah Desa Karangtengah, Desa Mandiri Energi yang Menolak Listrik PLN. Katadata.co.id.. https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/energi-baru/62c7b55e78415/kisah-desa-karangtengah-desa-mandiri-energi-yang-menolak-listrik-pln
Shalati, S. N. (2023, Oktober 20). Carbon capture technology: Meninjau kelayakannya. Yayasan Indonesia CERAH. https://www.cerah.or.id/id/publications/report/detail/meninjau-kelayakan-pembangunan-teknologi-penangkapan-karbon
Shalati, S. N. (2025, August 7). Gas in RUPTL 2025–2034 hinders Net Zero 2060 target. CERAH. https://www.cerah.or.id/publications/report/detail/gas-in-ruptl-2025-2034-hinders-net-zero-2060-target
Syahni, D. (2020, March 15). Kala PLTU batubara picu perubahan iklim dan ancam kesehatan masyarakat. Mongabay Indonesia. https://mongabay.co.id/2020/03/15/kala-pltu-batubara-picu-perubahan-iklim-dan-ancam-kesehatan-masyarakat/