Dampak negatif pandemi Covid-19 tersebar secara tidak merata. Kelompok, wilayah, dan negara dengan akses kesehatan, infrastruktur serta energi yang kurang memadai tak sesiap itu menghadapi pandemi.
Kabar baiknya, energi terbarukan telah menunjukkan ketahanan yang lebih besar dibanding sektor energi lainnya selama pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, energi terbarukan membuka peluang kerja baru di sepanjang rantai pasokannya. Jadi, mengapa dunia harus melanjutkan pengembangan sumber fosil setelah jelas energi tersebut rentan akibat pandemi?
The Institute for Sustainable Futures, University of Technology, Sydney dalam laporan bertajuk “Fossil Fuel Exit Strategy: An Orderly Wind Down of Coal, Oil and Gas to meet The Paris Agreement” menyebutkan, energi matahari dan angin dapat memenuhi permintaan energi primer lebih dari 50 kali lipat, berdasarkan permintaan global pada 2019. Diteliti dari sisi ekonomi, energi terbarukan juga lebih menguntungkan ketimbang bahan bakar fosil.
Associate Professor Sven Taske, yang juga merupakan Direktur Riset University of Technology Sydney, menambahkan, “kemungkinan besar [pengembangan energi fosil] akan terhenti karena dari sisi ekonomi, energi terbarukan lebih menguntungkan, terutama matahari dan angin.”
Terkait konsensus untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius yang tertuang dalam Kesepakatan Paris, temuan juga mengindikasikan pengembangan bahan bakar fosil baru tak lagi dibutuhkan. Untuk membatasi pemanasan global, semua negara perlu secara aktif mulai menghentikan produksi tambang batu bara dan sumur migas.
“Semua kawasan, termasuk negara produsen bahan bakar fosil teratas di Amerika Utara, Timur Tengah, dan Asia, memiliki lebih dari cukup energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara di setiap kawasan. Penghapusan bahan bakar fosil tidak akan meninggalkan siapapun dalam kegelapan dan tanpa akses energi,” demikian kutipan dari riset terbaru The Institute for Sustainable Futures.