Dewasa ini, topik seputar krisis iklim semakin ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Survei yang dilakukan oleh UNDP menyebutkan saat ini 60% masyarakat semakin khawatir akan dampak krisis iklim. Selain itu, 86 persen masyarakat Indonesia ingin pemerintah meningkatkan upaya untuk mengatasi krisis iklim. Bagi masyarakat Indonesia, ini adalah realitas sosial yang sudah dirasakan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan tren peningkatan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Suhu ekstrem dan perubahan pola musim yang semakin tidak menentu bukan lagi anomali, melainkan kenyataan yang harus dihadapi, menandai bahwa Indonesia berada di garis depan krisis iklim.
Apa Itu Perubahan Iklim?
Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan jangka panjang pada suhu dan pola cuaca di planet ini. Meski secara alami dapat dipicu oleh faktor seperti siklus matahari, sejak abad ke-19 penyebab utamanya bergeser ke aktivitas manusia, contohnya melalui pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas yang meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Dampak Nyata: Dari Krisis Air Hingga Gagal Panen
Perubahan iklim telah menghantam pilar-pilar ketahanan nasional.
Ketahanan Pangan
Musim kemarau yang lebih panjang (kekeringan) dan banjir ekstrem merusak lahan, mengancam produksi pangan nasional. Gagal panen bukan sekadar kerugian ekonomi, tetapi ancaman langsung terhadap ketersediaan gizi dan memicu kerawanan pangan, terutama bagi petani kecil.
Riset CERAH yang dirilis pada November 2022 lalu menyebutkan produksi padi dan kopi di Indonesia diperkirakan menurun karena dampak perubahan iklim. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dipimpin oleh Prof. Edvin Aldrian, ahli iklim dari BRIN, BMKG, dan IPB.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa kenaikan permukaan laut bisa membuat air laut masuk ke daratan, menyebabkan banjir, dan menghilangkan banyak lahan sawah di wilayah pesisir. Akibatnya, produksi beras nasional bisa berkurang sekitar 3,5 juta ton, jumlah yang setara dengan kebutuhan makan 26,6 juta orang. Sementara itu, hasil panen kopi juga diperkirakan turun hingga 10% saat terjadi El Niño dan bisa merosot sampai 80% saat La Niña.
Ketahanan Energi
Kenaikan suhu, curah hujan yang tidak menentu, mencairnya gletser, dan meningkatnya kejadian cuaca ekstrem akibat perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi pembangkit listrik tenaga air di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Perubahan ini bisa memengaruhi produksi listrik karena aliran sungai menjadi tidak stabil, musim aliran air bergeser, dan air di waduk lebih cepat menguap. Selain itu, cuaca ekstrem seperti hujan lebat dan tanah longsor juga dapat menghambat pembangunan proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air baru.
Kesehatan Publik
Perubahan iklim, bersama dengan faktor alami maupun buatan manusia lainnya, memengaruhi kesehatan manusia dengan berbagai cara. Beberapa ancaman kesehatan yang sudah ada akan menjadi lebih parah, dan ancaman baru bisa muncul. Tidak semua orang memiliki risiko yang sama, usia, kondisi ekonomi, dan lokasi tempat tinggal sangat memengaruhi tingkat kerentanan seseorang.
Di Amerika Serikat, kesehatan masyarakat dapat terganggu oleh perubahan pada sistem fisik, biologis, dan ekologi, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar. Dampaknya antara lain meningkatnya penyakit pernapasan dan jantung, cedera serta kematian dini akibat cuaca ekstrem, penyebaran penyakit yang ditularkan lewat makanan dan air, munculnya penyakit menular baru di wilayah yang sebelumnya tidak terdampak, serta meningkatnya masalah kesehatan mental.
Ketahanan Ekonomi
Pendapatan rata-rata per orang di Indonesia (PDB per kapita) diperkirakan sudah turun sekitar 15% dibandingkan jika tidak ada dampak perubahan iklim seperti sekarang. Karena itu, Indonesia berisiko menjadi salah satu negara yang paling terdampak secara ekonomi akibat krisis iklim.
Beberapa penelitian bahkan memprediksi kerugian ekonomi bisa mencapai 30–40% dari total PDB pada tahun 2050, dan hingga 80% pada tahun 2100 jika emisi gas rumah kaca terus meningkat. Jika emisi tetap tinggi, peringkat keuangan Indonesia di pasar global juga bisa turun sekitar empat poin, yang berarti biaya pinjaman negara bisa naik hingga sekitar satu miliar dolar setiap tahun.
Adaptasi Iklim: Apakah Upaya Indonesia Sudah Memadai?
Pemerintah telah merancang berbagai strategi adaptasi: sistem peringatan dini, Sekolah Lapang Iklim yang membekali petani dengan pengetahuan agar bisa responsif terhadap perubahan cuaca, dan rencana transisi energi yang sudah tercantum dalam RUPTL Namun sayangnya, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 masih menyebutkan akan adanya penambahan kapasitas PLTU batu bara hingga 6,3 GW dan gas sebesar 10,3 GW dengan dalih menopang kebutuhan listrik selama proses transisi. Padahal, penggunaan energi fosil justru berpotensi menghalangi implementasi peralihan energi terbarukan dalam kehidupan masyarakat yang butuh waktu untuk beradaptasi.
Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada 15 September lalu. Aturan ini menggantikan kebijakan sebelumnya yang sudah berusia lebih dari sepuluh tahun.
Sekilas, KEN 2025 terlihat ambisius dalam mendorong transisi menuju energi terbarukan hingga tahun 2060. Misalnya, pemerintah menargetkan porsi energi surya naik menjadi 2,8% pada 2030 dan meningkat hingga 32% pada 2060. Sementara itu, penggunaan batu bara direncanakan turun menjadi 41,6% pada 2030 dan hanya 7,8% pada 2060.
Namun, jika dilihat lebih dalam, isi kebijakan ini masih mirip dengan pendekatan lama. Subsidi untuk energi fosil masih dipertahankan, dan beberapa kebijakan lain justru bisa memperlambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Tanpa perubahan kebijakan yang berani dan mendukung penghapusan energi fosil, target transisi energi bersih akan sulit tercapai. Jika tidak ada langkah nyata, KEN 2025 hanya akan mengulang pola lama pengelolaan energi yang belum berpihak pada sumber energi terbarukan.
Hubungan Perubahan Iklim dengan Transisi Energi
Melihat semakin parahnya dampak perubahan iklim di Indonesia, dari gagal panen, krisis air, hingga meningkatnya penyakit dan kerugian ekonomi, sudah saatnya kita beranjak dari kebijakan lama yang terlalu bergantung pada energi fosil. Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru seharusnya tidak sekadar menjadi dokumen perencanaan, tetapi menjadi langkah nyata untuk mempercepat transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Artinya, subsidi untuk bahan bakar fosil perlu dialihkan ke sektor energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Pemerintah juga perlu mendorong demokratisasi energi, di mana masyarakat memiliki kebebasan dan dukungan untuk memanfaatkan sumber energi bersih secara mandiri, mulai dari penggunaan panel surya di rumah hingga transportasi publik ramah lingkungan di berbagai daerah.
Transisi energi bukan sekadar soal teknologi, tetapi tentang keadilan dan keberlanjutan hidup. Dengan kebijakan yang berpihak pada energi bersih, Indonesia tidak hanya bisa menekan dampak perubahan iklim, tetapi juga membangun ekonomi yang lebih tangguh, sehat, dan berkeadilan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.